Senin, 01 Oktober 2012

babad alas mentaok


Pemanahan mulai mbangun Mataram dengan Babad wana mbangun projo, Kemungkinan Pemanahan sudah mengawali pembukaan hutan Mentaok beberapa tahun sebelum menempatti Istana Kota gede pada tahun 1577, saat dirinya bergelar Ki Ageng mataram.
Pemanahan adalah keturunan majapahit dari garis Ayah dan keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis Ibu. Namun ada pendapat Pemanahan adalah seorang petani biasa, sehingga banyak bupati pesisir yang enggan mengakui kekuasaan Pemanahan dan keturunanya.
Pemanahan menghadap Hadiwijaya dan melaporkan bahwa perempuan pingitan Sultan  (hadiah kalinyanmat) telah di grumut anak angkat Sultan, Danang Sutawijaya. Meski kecewa toh Sutawijaya di ampuni. Kelak ari perkawinan ini lahirlah raden Rangga, yang sakti namun ahirnya tewas saat melawan “Ular besar” di desa Patalan selatan Yogyakarta.
Karena mulai sakit-sakitan, pemanahan menitipkan anak turunya kepada ipar dan penasehatnya, Juru Martani, dalam mengembangkan Mataram, Pemanahan memilih anak Sulungnya, Danang Sutawijaya atau raden Srubut, sebagai penggantinya dan berpesan kepada putra lainya agar mematuhi nasehat  Ki juru Marani. Dalam mengembangkan Mataram. Pemanahan memilih anak Sulungnya , Danang Sutowijaya Atau Raden Srubut, sebagai penggantinya dan berpesan kepada para putra lainya agar mematuhi nasehat Ki Jurumartani.
Pemanahan juga mengingatkan kepada anak turunnya jangan melupakan pesan Sunan Prapen (Sunan Giri IV): “anankku dan saudara saudara Semua, karena aku di beri wirayat oleh sunan Giri bahwa, keturunanku kelak akan memangku tanah Jawa. Maka pesanku, kelak kalau kamu memerangi bank wetan, ikutlah saat aku mengikuti Sultan Pajang ke Giri, yaitu hari Jumat Paing, bulan Muharom. Adapun kalau di serang, angkatan perangmu jangan sampai melewati gunung Kendheng sebab akan mendapat celaka. Dan lagi, seketurunanku kelak kalau mengangkat Bupati, jangan selain keturunan orang mataram sebab mereka sudah ikut sengsara. Kalau kweturunannya kelak punya dosa mati, sakiti saja, kalau dosa sakit saja, maafkan.’’
Setelah pemanahan meninggal (1584), Juru Martani menghadap Hadiwijaya guna memilih siapa di antara 6 putra Pemanahanyang akan di angkat sebagai penggantinya. Hadiwijaya memilih putra sulung Pemanahan, Danang Sutowijaya, dan di beri gelar Senopati Ingalogo Sayodin Panatogomo. Juru martini juga di serahi tugas untuk menjadi penasehatnya, bergelar Adipati Mandaraka. Mereka di izinkan untuk tidak Sowan selama setahun agar berkonsentrasi dalam membangun Mataram. “ kalau sudah setahun, datanglah kemari, jangan terlambat, “titah Sultan Hadiwijaya.
Karena sudah lewat waktu, Juru Martani meningkatkan Sutawijaya agar Sowan ke ppajang, namun tidak di indahkanya. Sultan Pajang mulai curiga dan mengirim Ngabehi Wuragil dan Ngabehi Wilamarta untuk mencermati Mataram. Sungguhpun sebagai utusan Raja, mereka turun dari kuda terlebih dahulu ketika menemui Sutawijaya, yang tetap di punggung Kudanya. Hal ini menunjuikkan suatu sikap merendahkan, bahkan menantang, bukan saja terhadap utusan tetapi juga kepada pengutusanya. dengan sopan utusan Pajang menyampaikan amanat Sultan bahwa Sutawijaya tidak boleh begitu sering mengadakan jamuan pesta. Tidak berambut gondrong, dan segera menghadap ke pajang.

sex wanita dilihat dari serat candraning wanita


Jika kita membicarakan mengenai hubungan seksual, maka kita seringkali berpikir bahwa dalam budaya Timur, seksualitas sangat penuh dengan berbagai tabu yang menyebabkan seksualitas menjadi misterius, membuat kita tertarik dan membuat kita selalu ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi di dalam hubungan fisik antar manusia. Salah satu karya sastra yang paling terkenal (jika boleh disebut sebagai sastra) dalam hal seksualitas dunia adalah Kamasutra. Buku dari India ini sedemikian terkenalnya sampai dikatakan menggambarkan semua masalah seksualitas mulai dari teknik foreplay, teknik dan posisi bercinta yang unik dan layak coba, sampai bahkan salah satu bab menjelaskan, tipe perempuan mana yang akan menjanjikan kenikmatan duniawi. Banyak pendapat mulai bermunculan mengenai buku ini, antara porno, sampai ‘mencerahkan’ pikiran dan membantu membuat pasangan semakin mesra dan penuh petualangan.
Tidak jauh-jauh, ternyata dalam budaya Indonesia, banyak sekali dicatat berbagai hal mengenai seksualitas, hal yang terasa agak janggal di negara kita yang sering malu malu membahas masalah ini. Karya karya dalam budaya Jawa yang sering menarik minat untuk dibahas adalah Serat Chenthini dan Asmaragama yang banyak menggambarkan pola kehidupan seksualitas dan berbagai teknik unik yang menarik untuk dibahas lebih dalam (atau mungkin sekalian di praktek-kan)
Salah satu dari bahasan unik dalam karya ini adalah penggambaran ciri-ciri perempuan Jawa yang dianggap menarik dan memiliki berbagai hal unik yang dibawa berdasarkan ciri-ciri fisiknya. Ada beberapa tipe perempuan berdasarkan ciri-ciri fisik yang digambarkan sebagai perempuan yang menarik dalam karya ini. Menarik menurut karya Asmaragama dan Serat Centhini adalah menarik sebagai pasangan hidup yang akan menjanjikan berbagai ketenangan hati dan hidup.
Ciri perempuan ideal dalam karya sastra, yang ditemukan dalam bagian yang disebut SERAT CANDRANING WANITA atau buku mengenai bentuk tubuh perempuan ini ada beberapa, dan masing-masing memiliki ciri khas tersendiri, perempuan-perempuan yang ideal ini antara lain mendapat sebutan sebagai perempuan dengan ciri , merica pecah, tasik madu, sri tumurun, puspa megar, surya surup, menjangan (atau macan) ketawan, amurwa tarung, atau mutyara. Dalam bahasa Indonesia, merica pecah adalah butiran merica pecah, tasik madu adalah danau madu, sri tumurun adalah dewi yang turun ke bumi, surya surup adalah matahari tenggelam, menjangan (atau macan) ketawan adalah rusa (atau harimau) yang tertawan. Seperti apakah ciri-ciri fisik perempuan dalam kategori-kategori ini?
Mrica Pecah – Butiran Merica yang Pecah
Perempuan dalam kategori ini adalah perempuan yang digambarkan sebagai perempuan dengan badan yang ramping dan padat, dengan kulit putih dan dengan payudara yang montok. Ciri utama perempuan ini adalah kemampuannya untuk dapat dengan mudah diterima di berbagai kalangan, tapi sangat rapat menyimpan rahasia. Perempuan seperti ini dikatakan akan membawa kebahagiaan kepada pasangan yang memiliki kedudukan yang tinggi, karena kemampuannya untuk mendampingi suami dalam berbagai kesempatan sekaligus kemampuannya untuk dapat menutup mulut dan menjaga kehormatan sang suami.
Surya Sumurup – Matahari Tenggelam
Bagikan semburat jingga di langit ketika mentari tenggelam, perempuan seperti ini membawa keindahan dan menampilkan keindahan yang luar biasa. Tidak hanya indah secara fisik, tapi juga dipercaya akan mampu menjadi kebanggaan pasangan karena kesetiaan luar biasa yang dimilikinya. Ciri fisik perempuan ini adalah bibirnya yang berwarna merah jambu, dengan sorot mata yang agak kebiruan. Rambut di dahi (yang kayaknya sekarang agak susah dilihat karena poni yang biasa menghiasi bagian dahi wanita) digambarkan kuncup seperti bunga turi, dan alis perempuan dalam tipe ini digambarkan memiliki alis yang melengkung indah seperti bulan sabit. Bukan hanya secara fisik dan kesetiaan, bahkan digambarkan, perempuan ini sanggup memberikan perlawanan yang berarti dalam urusan pertarungan asmara.
Menjangan (atau Macan) Ketawan – Kijang (atau Harimau) Tertawan
Perempuan seperti ini digambarkan memiliki sifat yang siap dan akan selalu memberikan perlawanan yang pas bagi pasangannya, sehingga sang pasangan tidak akan pernah merasa bosan karena bersanding dengan perempuan seperti ini bagaikan petualangan menyenangkan, dan selalu memberikan kejutan yang menarik untuk di selami. Secara fisik perempuan seperti ini memiliki gambaran wajah yang cerah ceria, mata yang terbuka lebar dan terlihat bersemangat, kulit yang bercahaya, memiliki sifat yang keras, tapi murah hati dan selalu menolong. Fisik perempuan dalam kategori ini tergolong agak besar, walau tidak berarti tegap. Perempuan yang masuk dalam kategori ini adalah perempuan yang tidak mudah tergoda dan mampu memberikan kehangatan kepada pasangannya.
Dari sekian tipe, seringkali seorang perempuan tidak memiliki satu ciri saja, terkadang memiliki beberapa ciri campuran yang menyebabkan setiap perempuan menjadi unik dan cantik dan ideal dengan caranya sendiri.
Tipe yang manakah Anda? Apapun tipe Anda, yakinlah bahwa Anda unik dan cantik dengan cara Anda sendiri.

sejarah semar

Kyai Semar atau dengan gelarnya di sebut Sanghyang ISMAYA adalah salah satu tokoh yang sangat di idolakan masyarakat Jawa khususnya para pelaku spiritual.
Memang dalam sastra Pewayangan India, Semar tidak ada karena Semar Ada di tanah Jawa dan di sandingkan dengan cerita pewayangan.
Di mulai dari nabi ADAM AS.

Nabi Adam berputra Sis
Sis berputra Sang Hyang Nurcahyo.
Sang Hyang Nurcahyo berputra Nurasa.
Nurasa Berputra Sang Hyang Wening.
Sang Hyang Wening berputra Sang Hyang Tunggal.

Nah dari Sang Hyang Tunggal ini Mencipta rasa bathin dan akhirnya menurunkan sebutir telur Nur.
Di Kayangan telur tersebut terbagi.
Kulit luarnya menjadi Batara Catur Goro atau di sebut TOGOG.
Kulit telurnya Menjadi Batara Ismaya atau di sebut SEMAR
Putih telurnya Menjadi Batara Sarawito atau di sebut MBILUNG.
Kuning Telurnya menjadi Batara Guru.
Sedang Sukmanya menjadi CAHYO BRO MARKOTO atau Cahaya yang tak terbilang sebagai Titisan Sanghyang Wenang.

Dimana kalau di kupas semua itu akan menjadi sebuah Ilmu Kejawen yang jarang di ketahui orang dan sudah langka. Namun disini aku tidak akan membicarakan tentang hal itu.
Kembali ke topik awal lagi.

Karena Semar berwajah sederhana dan tidak menyukai hal kemewahan maka tahta Kayangan Suralaya di serahkan pada si bungsu atau adik ragil Batara Guru .
Sedang Semar, Togog dan Mbilung turun ke duania.
Di dunia mereka mengadakan kesepakatan.
Togo dan Mbilung di beri pilihan oleh Semar. Mau mengikuti Ratu Miskin tapi menangan dalam setiap pertarungan, atau mengikuti Ratu kaya tapi selalu kalah dalam setiap peperangan.
Karena Togog dan Mbilung itu selalu memanjakan Nafsu makannya maka Togog dan Mbilung memilih Mengiluti Ratu Kaya meski selalu kalah dalam setiap peperangan. Yaitu Ratu-ratu di luar Jawa.

Sedang Semar Memilih mengikuti Ratu Miskin tapi selalu menang dalam setiap peperangan yaitu momong Wiji Ratu Tanah Jawa. Yang pertama kali di ikuti adlah Bambang Bermani.

Maka dalam setiap kisah pewayangan apabila yang di mong Togog dan Mbilung bertarung dengan yang di mong Semar meski yang di mong Semar itu bayi, maka yang di mong Togog dan Mbilung pasti kalah.

Saat turun ke dunia, Semar bertemu dengan dua orang pangeran dari negeri Atas Angin yang suka berbuat jahat.
Pada waktu itu sedang membegal (mencegat orang-orang yang lewat untuk di rampok) di jalan.
Oleh semar yang besar di banting dan di jepit pada batang pohon dan di tarik. akhirnya badannya jadi Panjang.
Sedang adiknya di injak kakinya sehingga pincang.
Karena sudah tobat maka Semar menawari jadi anak angkatnya.
setelah mau, maka yang besar dinamakan Petruk dan yang kecil dinamakan Gareng.
Statusnya kemudian di balik.
Yang kecil menjadi kakaknya dan yang besar di jadikan adiknya.

Setelah Kyai Semar mendapatkan 2 anak angkat dan sembari momong Wiji Ratu Tanah Jawa bernama Bambang Bermani, pada saat siang yang terik, Berjalanlah Kyai Semar sambil memikirkan, "kenapa ...kok hanya memomong orang lain dan tidak momong diri sendiri"
Kemudian dengan Mengheningkan cipta, Kyai Semar "menyedo" (mencipta dari rasa bathinnya) atau mencipta bayangannya sendiri menjadi seorang anak yang mirip dengan dirinya.
Karena tercipta dari bayangannya maka di beri nama BAGONG yang terdiri dari nama BA = Besar dan GONG = Ghaib.
Siapa yang di ikuti Bagong maka memiliki Kekuatan Ghaib yang besar.

Karena tercipta dari bayangannya sendiri maka segala tingkah polah Bagong tidak akan bikin kualat.
Jadi ketiga putra Kyai Semar memiliki nama yang mendukung seorang calon Raja mendapatkan Wahyu.
Wah kalau di teruskan bakal Panjang.
Kukira segitu saja ringkasan cerita Silsilah Kyai Semar.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/history/2118537-silsilah-semar-atau-betara-ismaya/#ixzz287CV0lD6

Semar Badranaya


MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu. Yang ada itu sesungguhnya tidak ada. Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan. Yang bukan dikira iya. Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru. Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.
Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
   * tidak pernah lapar
   * tidak pernah mengantuk
   * tidak pernah jatuh cinta
   * tidak pernah bersedih
   * tidak pernah merasa capek
   * tidak pernah menderita sakit
   * tidak pernah kepanasan
   * tidak pernah kedinginan
kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.
Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.
Semar-1
Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.
Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.
Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.
Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.
Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar.
Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada. Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol, berkulit hitam yang bernama Semarasanta.
Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta.
Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar.
SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi.
Semar dan Wahyu
Di dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “Batara Semar,” telah dipaparkan bahwa Batara Semar atau Batara Ismaya, yang hidup di alam Sunyaruri, sering turun ke dunia dan manitis di dalam diri Janggan Semarasanta, seorang abdi dari Pertapaan Saptaarga. Mengingat bahwa bersatunya antara Batara Ismaya dan Janggan Semarasanta yang kemudian populer dengan nama Semar merupakan penyelenggaraan Illahi, maka munculnya tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dalam kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri.
Dari bentuknya saja, tokoh ini tidak mudah diterka. Wajahnya adalah wajah laki-laki. Namun badannya serba bulat, payudara montok, seperti layaknya wanita. Rambut putih dan kerut wajahnya menunjukan bahwa ia telah berusia lanjut, namun rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak. Bibirnya berkulum senyum, namun mata selalu mengeluarkan air mata (ndrejes). Ia menggunakan kain sarung bermotif kawung, memakai sabuk tampar, seperti layaknya pakaian yang digunakan oleh kebanyakan abdi. Namun bukankah ia adalah Batara Ismaya atau Batara Semar, seorang Dewa anak Sang Hyang Wisesa, pencipta alam semesta.
Semar-2
Dengan penggambaran bentuk yang demikian, dimaksudkan bahwa Semar selain sosok yang sarat misteri, ia juga merupakan simbol kesempurnaan hidup. Di dalam Semar tersimpan karakter wanita, karakter laki-laki, karakter anak-anak, karakter orang dewasa atau orang tua, ekspresi gembira dan ekspresi sedih bercampur menjadi satu. Kesempurnaan tokoh Semar semakin lengkap, ditambah dengan jimat Mustika Manik Astagina pemberian Sang Hyang Wasesa, yang disimpan di kuncungnya. Jimat tersebut mempunyai delapan daya yaitu; terhindar dari lapar, ngantuk, asmara, sedih, capek, sakit, panas dan dingin. Delapan macam kasiat Mustika Manik Astagina tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa, walaupun Semar hidup di alam kodrat, ia berada di atas kodrat. Ia adalah simbol misteri kehidupan, dan sekaligus kehidupan itu sendiri.
Jika dipahami bahwa hidup merupakan anugerah dari Sang Maha Hidup, maka Semar merupakan anugerah Sang Maha Hidup yang hidup dalam kehidupan nyata. Tokoh yang diikuti Semar adalah gambaran riil, bahwa sang tokoh tersebut senantiasa menjaga, mencintai dan menghidupi hidup itu sendiri, hidup yang berasal dari Sang Maha Hidup. Jika hidup itu dijaga, dipelihara dan dicintai maka hipup tersebut akan berkembang mencapai puncak dan menyatu kepada Sang Sumber Hidup, manunggaling kawula lan Gusti. Pada upaya bersatunya antara kawula dan Gusti inilah, Semar menjadi penting. Karena berdasarkan makna yang disimbolkan dan terkandung dalam tokoh Semar, maka hanya melalui Semar, bersama Semar dan di dalam Semar, orang akan mampu mengembangkan hidupnya hingga mencapai kesempurnaan dan menyatu dengan Tuhannya.
Selain sebagai simbol sebuah proses kehidupan yang akhirnya dapat membawa kehidupan seseorang kembali dan bersatu kepada Sang Sumber Hidup, Semar menjadi tanda sebuah rahmat Illahi (wahyu) kepada titahnya, Ini disimbolkan dengan kepanjangan nama dari Semar, yaitu Badranaya. Badra artinya Rembulan, atau keberuntungan yang baik sekali. Sedangkan Naya adalah perilaku kebijaksanaan. Semar Badranaya mengandung makna, di dalam perilaku kebijaksanaan, tersimpan sebuah keberuntungan yang baik sekali, bagai orang kejatuhan rembulan atau mendapatkan wahyu.
Dalam lakon wayang, yang bercerita tentang Wahyu, tokoh Semar Badranaya menjadi rebutan para raja, karena dapat dipastikan, bahwa dengan memiliki Semar Badranaya maka wahyu akan berada dipihaknya.
Menjadi menarik bahwa ada dua sudut pandang yang berbeda, ketika para satria raja maupun pendeta memperebutkan Semar Badranaya dalam usahanya mendapatkan wahyu. Sudut pandang pertama, mendudukkan Semar Badranaya sebagai sarana phisik untuk sebuah target. Mereka meyakini bahwa dengan memboyong Semar, wahyu akan mengikutnya sehingga dengan sendirinya sang wahyu didapatkan. Sudut pandang ini kebanyakan dilakukan oleh kelompok Kurawa atau tokoh-tokoh dari sabrang, atau juga tokoh lain yang hanya menginkan jalan pintas, mencari enaknya sendiri. Yang penting mendapatkan wahyu, tanpa harus menjalani laku yang rumit dan berat.
Sudut pandang ke dua adalah mereka yang mendudukan Semar Badranaya sebagai sarana batin untuk sebuah proses. Konsekwensinya bahwa mereka mau membuka hati agar Semar Badranaya masuk, tinggal dan menyertai kehidupannya, sehingga dapat berproses bersama meraih Wahyu. Penganut pandangan ini adalah kelompok dari keturunan Saptaarga. Dari ke dua sudut pandang itulah dibangun konflik, dalam usahanya memperebutkan turunnya wahyu. Dan tentu saja berakhir dengan kemenangan kelompok Saptaarga.
Mengapa wahyu selalu jatuh kepada keturunan Saptaarga? Karena keturunan Saptaarga selalu mengajarkan perilaku kebijaksannan, semenjak Resi Manumanasa hingga sampai Harjuna. Di kalangan Saptaarga ada warisan tradisi sepiritual yang kuat dan konsisten dalam hidupnya. Tradisi tersebut antara lain; sikap rendah hati, suka menolong sesama, tidak serakah, melakukan tapa, mengurangi makan dan tidur dan laku lainnya. Karena tradisi-tradisi itulah, maka keturunan Saptaarga kuat diemong oleh Semar Badranaya.
Masuknya Semar Badranaya dalam setiap kehidupan, menggambarkan masuknya Sang Penyelenggara Illahi di dalam hidup itu sendiri. Maka sudah sepantasnya, anugerah Ilahi yang berujud wahyu akan bersemayam di dalamnya. Karena apa yang tersembunyi di balik tokoh Semar adalah Wahyu. Wahyu yang disembunyikan bagi orang tamak dan dibuka bagi orang yang hatinya merunduk dan melakukan perilaku kebijaksanaan. Seperti yang dilakukan keturunan Saptaarga
Bocah Bajang dan Semar
Bocah Bajang nggiring angin anawu banyu segara ngon-ingone kebo dhungkul sa sisih sapi gumarang
Teks empat baris yang menggambarkan Bocah Bajang (anak yang tidak bisa besar atau cacat) tersebut merupakan salah satu Jineman atau lagu yang selalu dikumandangkan pada pegelaran Wayang Purwa, khusus untuk mengiringi munculnya tokoh Semar pada waktu goro-goro. Hal tersebut tidak secara kebetulan, tetapi merupakan sebuah ekspresi kreatif untuk menyampaikan sesuatu makna yang dianggap penting, melalui lagu Bocah Bajang dan wayang Semar.
Semar-Bajang
Semar dan Dewa Ruci, keduanya merupakan gambaran Kesempurnaan yang tinggal dan hidup dalam manusia yang lemah dan cacat.
(lukisan karya: herjaka HS, tahun 2003)
Tokoh Semar mempunyai sifat pribadi yang mendua. Ia adalah dewa bernama Batara Ismaya, yang manitis (tinggal dan hidup) pada seorang manusia cebol, berkulit hitam, bernama Ki Semarasanta. Bentuk wayangnya pun dibuat mendua: bagian kepala adalah laki-laki, tetapi payudara dan pantatnya adalah perempuan. Rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak, tetapi sudah memutih seperti orang tua. Bibirnya tersenyum menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi matanya selalu basah seperti sedang menangis sedih. Oleh karena serba misteri, tokoh Semar dapat dianggap dewa, dapat pula dianggap manusia. Ya laki-laki, ya perempuan, ya orang tua dan sekaligus kanak-kanak, sedang bersedih tetapi dalam waktu yang sama juga sedang bergembira. Maka tokoh ini diberi nama Semar asal kata samar, yang berarti tidak jelas.
Sebuah dugaan, tokoh Semar dalam Pewayangan merupakan perwujudan dari kerinduan manusia dalam pengembaraannya menyelami yang Ilahi. Dikarenakan Hyang Maha Sempurna itu tidak kelihatan, tidak bisa diraba, jauh tak terbatas, dekat tidak bersentuhan, maka sulitlah untuk menggambarkannya. Oleh karena kekurangannya, kelemahannya dan cacat-cacatnya, manusia hanya dapat menggambarkan ketidakmampuannya menggambarkan yang Ilahi. Maka yang muncul kemudian adalah bentuk yang tidak sempurna. Lahirnya karya yang disengaja tidak sempurnya seperti wayang Ki Semarasanta atau Semar, merupakan sebuah konsep kerendahan hati, penyadaran diri dan keterbukaan pribadi akan kelemahannya, kekurangannya, cacat-cacatnya. Karena dengan sikap tersebut manusia diyakini mampu nglenggahake (menghadirkan dan mendudukkan) yang Maha Sempurna.
Selain tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cebol berkulit hitam yang dimaksudkan untuk nglenggahake kesempurnaan yaitu Bathara Ismaya, di pewayangan juga ada tokoh lain yang dibuat bajang, kerdil, untuk tujuan yang sama yaitu: Sang Hyang Pada Wenang dan Dewa Ruci.
Untuk menandaskan munculnya tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cacat yang berpribadi mendua, diiringi dengan lagu Bocah Bajang sedang membawa binatang piaraan yang mempunyai sifat mendua pula. Yaitu Seekor Kerbau, binatang yang bodoh dan tumpul otaknya, menggambarkan kelemahan manusia. Dan seekor Sapi Gumarang, binatang yang cerdas dan mempunyai tanduk sangat tajam, menggambarkan ketajaman manusia akan misteri Ilahi.
Dari paparan tersebut tokoh Semar yang diekspresikan ke dalam bentuk wayang dan tokoh Bocah Bajang yang di ekspresikan ke dalam lagu jineman, mempunyai inti makna yang sama. Ke duanya memberikan gambaran bahwa dalam diri manusia yang serba kekurangan, lemah dan cacat bertahtalah Yang Maha Sempurna.
Dalam usahanya mengharmoniskan antara sifat yang serba kurang, lemah dan cacat di satu sisi dan sifat yang serba sempurna di sisi yang lain, manusia membutuhkan perjuangan panjang, sepanjang umur manusia itu sendiri. Seperti Bocah Bajang nggiring angin dan nawu segara.
Semar, Gareng, Petruk, Bagong
Dalam perkembangan selanjutnya, hadirnya Semar sebagai pamomong keturunan Saptaarga tidak sendirian. Ia ditemani oleh tiga anaknya, yaitu; Gareng, Petruk, Bagong. Ke empat abdi tersebut dinamakan Panakawan. Dapat disaksikan, hampir pada setiap pegelaran wayang kulit purwa, akan muncul seorang ksatria keturunan Saptaarga diikuti oleh Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Cerita apa pun yang dipagelarkan, ke lima tokoh ini menduduki posisi penting. Kisah Mereka diawali mulai dari sebuah pertapaan Saptaarga atau pertapaan lainnya. Setelah mendapat berbagai macam ilmu dan nasihat-nasihat dari Sang Begawan, mereka turun gunung untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, dengan melakukan tapa ngrame. (menolong tanpa pamrih).
Dikisahkan, perjalanan sang Ksatria dan ke empat abdinya memasuki hutan. Ini menggambarkan bahwa sang ksatria mulai memasuki medan kehidupan yang belum pernah dikenal, gelap, penuh semak belukar, banyak binatang buas, makhluk jahat yang siap menghadangnya, bahkan jika lengah dapat mengacam jiwanya. Namun pada akhirnya Ksatria, Semar, Gareng, Petruk, Bagong berhasil memetik kemenangan dengan mengalahkan kawanan Raksasa, sehingga berhasil keluar hutan dengan selamat. Di luar hutan, rintangan masih menghadang, bahaya senantiasa mengancam. Berkat Semar dan anak-anaknya, sang Ksatria dapat menyingkirkan segala penghalang dan berhasil menyelesaikan tugas hidupnya dengan selamat.
Punokawan
Mengapa peranan Semar dan anak-anaknya sangat menentukan keberhasilan suatu kehidupan? Sudah dipaparkan pada dua tulisan sebelumnya, bahwa Semar merupakan gambaran penyelenggaraan Illahi yang ikut berproses dalam kehidupan manusia. Untuk lebih memperjelas peranan Semar, maka tokoh Semar dilengkapi dengan tiga tokoh lainnya. Ke empat panakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta. Gareng mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot dan berkaki pincang. Ke tiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata kero, adalah rasa kewaspadaan, tangan cekot adalah rasa ketelitian dan kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari kehendak, keinginan, karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar, artinya selalu bersedia bekerja keras. Cipta, rasa, karsa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa dan karya berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masing-masing dengan harmonis, untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai hubungan signifikan. Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus (rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya).
Simbolisasi ksatria dan empat abdinya, serupa dengan ‘ngelmu’ sedulur papat lima pancer. Sedulur papat adalah panakawan, lima pancer adalah ksatriya. Posisi pancer berada ditengah, diapit oleh dua saudara tua (kakang mbarep, kakang kawah) dan dua saudara muda (adi ari-ari dan adi wuragil). Ngelmu sedulur papat lima pancer lahir dari konsep penyadaran akan awal mula manusia diciptakan dan tujuan akhir hidup manusia (sangkan paraning dumadi). Awal mula manusia diciptakan di awali dari saat-saat menjelang kelahiran. Sebelum sang bayi (bayi, dalam konteks ini adalah pancer) lahir dari rahim ibu, yang muncul pertama kali adalah rasa cemas si ibu. Rasa cemas itu dinamakan Kakang mbarep. Kemudian pada saat menjelang bayi itu lahir, keluarlah cairan bening atau banyu kawah sebagai pelicin, untuk melindungi si bayi, agar proses kelahiran lancar dan kulit bayi yang lembut tidak lecet atau terluka. Banyu kawah itu disebut Kakang kawah. Setelah bayi lahir akan disusul dengan keluarnya ari-ari dan darah. Ari-ari disebut Adi ari-ari dan darah disebut Adi wuragil.
Ngelmu sedulur papat lima pancer memberi tekanan bahwa, manusia dilahirkan ke dunia ini tidak sendirian. Ada empat saudara yang mendampingi. Pancer adalah suksma sejati dan sedulur papat adalah raga sejati. Bersatunya suksma sejati dan raga sejati melahirkan sebuah kehidupan.
Hubungan antara pancer dan sedulur papat dalam kehidupan, digambarkan dengan seorang sais mengendalikan sebuah kereta, ditarik oleh empat ekor kuda, yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih. Sais kereta melambangkan kebebasan untuk memutuskan dan berbuat sesuatu. Kuda merah melambangkan energi, semangat, kuda hitam melambangkan kebutuhan biologis, kuda kuning melambangkan kebutuhan rohani dan kuda putih melambangkan keheningan, kesucian. Sebagai sais, tentunya tidak mudah mengendalikan empat kuda yang saling berbeda sifat dan kebutuhannya. Jika sang sais mampu mengendalikan dan bekerjasama dengan ke empat ekor kudanya dengan baik dan seimbang, maka kereta akan berjalan lancar sampai ke tujuan akhir. Sang Sangkan Paraning Dumadi.
Panakawan
Di dalam cerita Pewayangan khususnya Yogyakarta dan Surakarta dikenal adanya tokoh Panakawan. Pana artinya mengetahui, memahami permasalahan yang dihadapi dan mampu memberikan solusi-solusinya. Sedangkan Kawan atau sekawan selain berarti berjumlah empat, juga dapat dimaknai sebagai teman atau sahabat. Mereka adalah Semar beserta ketiga anaknya, yaitu; Gareng, anak yang paling tua, Petruk anak kedua dan yang bungsu bernama Bagong.
Tugas utama panakawan adalah menghantar dan memomong tokoh ksatria dalam mencari dan mencapai cita-cita hidupnya. Hubungan antara panakawan dan tokoh ksatria adalah hubungan yang sangat lentur. Kadang-kadang hubungan mereka bagaikan abdi dan bendara, yang melayani dan yang dilayani. Ada kalanya hubungan mereka seperti layaknya raja dan rakyatnya, gusti dan kawula, yang disembah dan yang menyembah Namun yang lebih tepat hubungan antara Panakawan dan ksatria bagaikan kedua sahabat yang saling berkomunikasi, berinteraksi, bertukar pendapat serta pikirannya untuk menyelesaikan dan menyingkirkan masalah-masalah yang menghalangi dalam usahanya mencapai sebuah cita-cita. Mereka saling asah (mengasah budi dan pikiran), asih (mengasihi dan mencintai), asuh (menjaga dan memelihara).
Keberhasilan tokoh ksatria dalam mencapai cita-citanya sangat bergantung kepada panakawan. Jika sang ksatria bersikap rendah hati mampu membina hubungan yang harmonis dengan panakawan, mau membuka hati untuk mendengarkan dan melaksanakan saran dari tokoh panakawan, dan rela hidup miskin, niscaya keberhasilan akan tercapai. Namun jika terjadi sebaliknya, kegagalanlah yang didapat. Karena begitu dominannya peran panakawan dalam menentukan keberhasilan sang ksatria, maka kemudian muncul sebuah pertanyaan Siapakah sesungguhnya tokoh panakawan tersebut? Menyimbolkan apakah mereka? Mengapa berjumlah empat?
Tidak sedikit tulisan dan pendapat yang menguraikan tokoh panakawan. Diantaranya adalah bahwa tokoh panakawan adalah Dewa atau penguasa semesta alam yang ngejawantah menjadi manusia miskin untuk bekerjasama dan membantu usaha manusia agar dapat mencapai cita-cita luhur. Ada juga yang berpendapat bahwa kemunculan tokoh panakawan ini bersamaan dengan suatu gerakan kalangan bawah yang ingin menunjukan kekuatan rakyat yang sesunguhnya. Raja dan para bangsawan (ksatria) yang berkuasa, tidak akan pernah berhasil mengantar negerinya kearah kemakmuran dan kesejahteraan jika tidak didukung dan di emong oleh rakyat. Seperti yang digambarkan dalam cerita wayang bahwa yang berhasil dan menang dalam sebuah pergulatan mendapatkan ‘wahyu’ adalah tokoh yang senantiasa diikuti oleh panakawan.
Sementara itu ada yang menguraikan bahwa ke empat panakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta,. Gareng mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot dan berkaki pincang. Ke tiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata kero, adalah rasa kewaspadaan. Tangan cekot adalah rasa ketelitian. Kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari kehendak, keinginan, karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya. Tangan depan menuding dengan telunjuknya, tangan belakang dalam posisi menggenggam. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar, artinya pekerja keras. Cipta, rasa, karsa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa dan karsa berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masin-masing dengan harmonis untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai hubungan signifikan. Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus (rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya).
Diibaratkan seorang sais (jati diri manusia) mengendarai sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda (cipta, rasa, karsa dan karya). Bagaimana Kereta itu berjalan untuk mencapai tujuan sangat bergantung dengan kemampuan sais dalam mengendalikan dan mengoptimalkan kuda-kudanya. Jika si sais terampil niscaya ke empat kudanya akan kompak berderap berpacu menuju sasaran. Rintangan yang menghadang di jalan tidak akan membuat kereta jatuh dan tak mampu bangkit kembali. Paling-paling kereta akan mengurangi kecepatan sejenak untuk kemudian berpacu kembali.

tantu panggelaran


Cerita Rakyat adalah bagian dari kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki setiap bangsa. Jika digali dengan sungguh-sungguh, negeri kita sebenarnya berlimpah ruah Cerita rakyatyang menarik. Bahkan sudah banyak yang menulis ulang dengan cara mereka masingmasing. Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut.
Tantu Panggelaran adalah sebuah teks prosa yang menceritakan tentang kisah penciptaan manusia di pulau Jawa dan segala aturan yang harus ditaati manusia. Tantu Panggelaran ditulis dalam bahasa Jawa Pertengahan pada zaman Majapahit. Suntingan teks yang sangat penting telah terbit pada tahun 1924 di Leiden oleh Dr. Th. Pigeaud.
Perkembangan kisah dalam Tantu Panggelaran dapat dibagi menjadi beberapa Babak:
Awal Keberadaan Pulau Jawa
Pada mulanya pulau Jawa tidak berpenghuni dan dalam keadaan khaotis, karena pulau Jawa selalu bergoncang (bandingkan dengan batu apung yang bergoncang di atas permukaan air). Oleh karena itu, pulau Jawa membutuhkan gunung untuk menancapnya, sehingga tidak bergoncang lagi. Gunung tempat Batara Guru mengatur keadaan yang khaotis ini adalah Gunung Dihyang (atau Gunung Dieng, lihat artikel tentang Gunung Dieng). Proses pengaturannya berjalan sebagai berikut: para Dewa mengangkat puncak gunung Mahameru (Gunung Semeru) dari India dan ditempatkan di sebelah barat pulau Jawa. Namun yang terjadi adalah, bahwa pulau Jawa terjungkit dan sebelah timur pulau Jawa terangkat ke atas. Oleh karena itu para dewa memindahkannya ke sebelah timur, tetapi dalam perjalanan pemindahan gunung itu ke sebelah timur, gunung tersebut berceceran di sepanjang jalan, sehingga terjadilah gunung Lawu, Wilis, Kelut, Kawi, Arjuna, Kumukus dan pada akhirnya Semeru. Setelah itu keadaan pulau Jawa tidak bergoncang lagi.
Penciptaan Manusia
Setelah pulau Jawa tidak lagi bergoncang, Batara Guru ingin membuat manusia sebagai penghuni pulau Jawa. Untuk itu dia memerintahkan Batara Brahma dan Batara Wisnu menciptakan manusia. Mereka menciptakan manusia dari tanah yang dikepal-kepal lalu dibentuk manusia berdasarkan rupa dewa. Brahma menciptakan manusia laki-laki dan Wisnu menciptakan manusia perempuan, yang kemudian kedua manusia ciptaan para dewa tersebut dipertemukan dan mereka hidup saling mengasihi.
Proses Terjadinya Peradaban Manusia
Pada mulanya manusia telanjang karena tidak dapat membuat pakaian, tidak tinggal di dalam rumah, tidak dapat berbicara, oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa manusia pertama yang tinggal di pulau Jawa tidak mempunyai peradaban. Untuk itu para dewa diberi tugas oleh Batara Guru untuk “memberi pelajaran” kepada manusia, supaya mereka dapat membuat pakaian, membuat rumah, dapat berbicara antara satu sama lainnya. Pada intinya para dewa mengajar manusia Jawa tentang budaya dan peradaban. Contoh yang dikutip dari kitab Tantu Panggelaran untuk Babak ini:
Demikianlah kata Bhatara Mahakarana (istilah lain dari Batara Guru):
  • Anakku, Brahma, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Pertajamlah benda-benda tajam, misalnya: panah, parang, pahat, pantek, kapak, beliung, segala pekerjaan manusia. Engkau akan disebut pandai-besi. Engkau akan mempertajam benda-benda tajam itu di tempat yang bernama Winduprakasa. Ibu jari (kw. empu) kedua kakimu mengapit dan menggembleng, besi anak panah dikikir. Panah itu menjadi tajam oleh ibu jari kedua kaki, maka dari itu engkau akan disebut Empu Sujiwana sebagai pandai-besi, karena ibu jari/empu dari kakimu mempertajam besi. Oleh karena itu, tukang pandai-besi disebut empu, karena ibu jari kakimu menjadi alat bekerja. Demikianlah pesanku kepada anakku.
  • Lagi pesanku kepada anakku Wiswakarmma. Turunlah ke Pulau Jawa membuat rumah, biar dirimu ditiru oleh manusia. Sebab itu, engkau dinamai Hundahagi (membangun).
  • Adapun engkau Iswara. Turunlah ke Pulau Jawa. Ajarlah manusia ajaran berkata-kata dengan bahasa, apalagi ajaran tentang Dasasila (sepuluh hal yang utama) dan Pancasiska (lima hukum/tata tertib). Engkau menjadi guru dari kepala-kepala desa, sehingga engkau dinamai Guru Desa di Pulau Jawa.
  • Adapun engkau Wisnu. Turunlah engkau ke Pulau Jawa. Biarlah segala perintahmu dituruti oleh manusia. Segala tingkah lakumu ditiru oleh manusia. Engkau adalah guru manusia, hendaknya engkau menguasai bumi.
  • Adapun engkau Mahadewa, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Hendaknya engkau menjadi tukang pandai emas dan pembuat pakaian manusia.
  • Bhagawan Ciptagupta hendaknya melukis dan mewarnai perhiasan, serta membuat hiasan yang serupa dengan ciptaan, menggunakan alat ibu jari tanganmu. Oleh karena itu engkau akan dinamai Empu Ciptangkara sebagai pelukis.
Ceritera Rakyat dalam Kitab Tantu Panggelaran
Perkembangan karya sastra bangsa Indonesia seirama dengan perkembangan sejarahnya. Banyak sekali hasil karya sastra bangsa Indonesia masa lalu mempunyai nilai amat tinggi, bahkan menguraikan falsafath, dijadikan suri tauladan kehidupan masyarakat. Sedang karya sastra yang isinya berupa ceritera kebanyakan menjadi ceritera rakyat dituturkan uturn tumurun. Sebagai contoh adalah kitan Tantu Panggelaran.
Menurut isinya kitab Tanu Panggelaran merupakan kumpulan ceritera pendek dan banyak yang menjadi ceritera rakyat, didongengkan orang tua sebelum anaknya tidur. Misalnya asal-usul Gunung Semeru, terjadinya gerhan bulan dan sebagainya. Kitab Tantu Panggelaran ditulis dengan huruf Jawa dan Bahasa Jawa Tengahan, yaitu bahasa Jawa antara bahasa Jawa Kuno dan bahasa Jawa sekarang dan berkembang mulai masa kejayaan Kerajaan Majapahit sampai Kerajaan Demak, Salah satu salinannya berupa naskah kuno disimpan di Perpustakaan Nasional, Bagian Naskah. Penulisannya berbentuk prosa. Sebagai contoh diberikan beberapa ceritera sebagai berikut:

Asal-usul Gunung Semeru

Pada waktu itu Pulau Jawa belum dihuni oleh manusia, bagaikan daun padi yang terapung dan terombang-ambing di tengah samudera. Kedudukannya tidak tetap dan selalu berubah arah. Batara Guru menciptakan manusia sejodoh di Pulau Jawa yang lalu beranak pinak. Sayang mereka masih telanjang, tidak dapat berbicara dan belum menetap dalam suatu rumah. Batara Guru memerintah kepada para dewa agar turun ke Pulau Jawa, mendidik manusia Jawa agar dapat membuat pakaian, rumah dan perabotannya dan cara hidup menetap seperti orang sekarang.
Waktu itu penduduk belum merasa tenteram karena Pulau Jawa selalu berubah arah. Batara Guru menyuruh agar Pulau Jawa dipaku memakai gunung. Atas perintah itu, maka salah seorang dewa mencabut pundak gunung Mahameru dari tanah Hindustan di India. Puncak Mahameru dibawa terbang ke Pulau Jawa melewati Pulau Sumatera. Dalam perjalanan gunung itu berceceran sepanjang Pulau Sumatera dan menjadi Bukit Barisan.
Sampai di bagian barat Pulau Jawa, Puncak Mahameru ditancapkan sebagai paku. Ternyata Pulau Jawa berat sebelah, bagian barat tenggara dan bagian timur mencuat ke atas. Maka bagian puncak Mahameru tadi dipasang dan diterbangkan ke bagian timur. Sepanjang penerbangan gunung tersebut rontok. Puncak-puncak rontokan itu antara lain Gunung Ciremai, Gunung Slamet, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Kelud, Gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung Anjasmara dan lain-lain. Kemudian puncak yang tersisa ditancapkan berupa Gunung Semeru, dari kata Mahameru. Mulai saat itu Pulau Jawa menjadi tenang kedudukannya seperti sekarang ini.

Asal Mula Gerhana Bulan

Ringkasan ceritera sebagai berikut: Maha Dewa mengetahui agar para dewa tidak dapat mati meskipun kena sakit, harus minum air penghidupan atau amrta. Amrta itu adanya di dasar lautan susu dalam suatu wadah. Seluruh dewa termasuk Maha Dewa tidak mampu mengambil amrta di dasar lautan susu. Sidang dewa memutuskan menunjuk raksasa maha besar untuk mengambilnya. Apabila raksasa itu berhasil, maka akan diberi kedudukan sama dengan dewa. Salah satu dewa menyampaikan tugas itu kepada raksasa. Sang raksasa menyanggupinya, kemudian mencabut puncak gunung untuk mengaduk (mengebur) lautan susu. Adukan (keburan) itu menimbulkan arus putar vertikal air lautan susu. Arus air lautan susu semakin lama semakin kencang dan kuat. Dengan kekuatan arus maha dahsyat, maka seua benda di dasar lautan hanyut terbawa putaran arus. Pada saat wadah amrta tampak di permukaan lautan susu, dengan secepat kilat disambar oleh sang raksasa. Kemudian wadah amrta dipersembahkan kepada para dewa.
Setelah itu timbullah niar raksasa ingin tahu tentang amrta. Sang raksasa bertanya kepada salah satu dewa dan mendapat penjelasan bahwa amrta adalah air penghidupan. Barang siapa minum air penghidupan, maka ia akan hidup selama-lamanya meskipun tertimpa sakit. Mendengar penjelasan itu raksasa terkejut dan menyesal mengapa diserahkan kepada dewa. Timbul keinginan untuk memilikinya atau minimal ikut minum. Sang raksasa berusaha dapat mencuri amrta. Saat itu pula ia bermaksud minum amrta. Bersamaan dengan saat raksasa menenggak amrta, diketahui oleh Dewa Wisnu. Tanpa membuang waktu Wisnu melepaskan panah cakra tepat mengenai leher raksasa dan putus. Kepala Raksasa yang telah minum amrta tetap hidup dan terbang ke angkasa. Badan mulai dari leher yang belum terkena amrta, mati roboh ke bumi manjadi kayu. Oleh penduduk, kayu itu dijadikan bahan membuat “lesung” (tempat menumbuk padi).
Kepala raksasa tanpa badan terus terbang mengelilingi bumi ingin membalas dendam. Ia bermaksud “nguntal” menelan tanpa dikunyah) bidadari. Sebab bidadari adalah isteri para dewa. Salah satu budadari adalah bulan. Maka kepala raksasa itu terus mengejar bulan. Pada saat tertentu bulan dapat terkejar dan “diuntal”. Saat itu terjadi gerhana. Karena raksasa tadi tidak punya badan (perut), maka bulan keluar lagi. Pada saat terjadi gerhana bulan seluruh penduduk kampung memukuli lesung (badan raksasa). Penduduk yakin, dengan memukul badan raksasa, maka karena merasa kesakitan raksasa mengurungkan memakan bulan. Sampai sekarang, apabila terjadi gerhan bulan tentu di perkampungan terdengar suara ramai orang memukul lesung atau titir kentongan.

Menghentikan Jalannya Matahari

Ceritera semacam itu termasuk ceritera klise, yaitu alur ceritera sama yang terdapat di berbagai belahan dunia, misalnya di Persia, Arab, Tibet, Indonesia dan lain-lain. Ringkasan ceritera yang terdapat dalam Tantu Panggelaran sebagai berikut:
Seorang empu dari Kampung Tapawangkeng di wilayah Kerajaan Daha bernama Sameget Baganjing mempunyai pinjaman berupa makanan. Ia berjanji akan membayar hutangnya setelah matahari terbenam. Empu Sameget Baganjing tidak mempunyai uang membayar hutangnya setelah matahari terbenam. Agar tidak ditagih bayah hutang, maka matahari ditahan perjalanannya, sehingga matahari bersinar terus dan malam (magrib) tertunda datangnya. Padahal waktu itu Sang Raja sedang berpuasa dan akan berbuka setelah matahari terbenam. Sang Raja sudah merasa lapar sekali, tetapi matahari tidak bergerak menuju peraduannya. Setelah diselidiki ternyata matahari ditahan perjalanannya oleh Empu Sameget Baganjing yang tidak dapat bayar hutang. Akhirnya matahari terbenam dan Sang Raja dapat berbuka puasa.
Banyak karya sastra lama semacam kitab Tantu Panggelaran itu tidak dituliskan nama pengarangnya. Pada umumnya isinya berhubungan dengan keagamaan, yaitu Hindu. Nilai sastranya sangat tinggi, gaya bahasanya indah. Naskah kuno semacam itu banyak disimpan, dirawat dan dilestarikan di museum seluruh Indonesia.
Tantu Panggelaran berisi tentang etiologi alam semesta. Tantu Panggelaran ditulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan etiologis, misalnya, mengapa ada gempa bumi, mengapa ada gerhana matahari, mengapa ada gunung-gunung yang tersebar di pulau Jawa, mengapa ada manusia di pulau Jawa, mengapa ada biji hijau, hitam, putih, tetapi tidak ada biji kuning, mengapa ada bahasa, mengapa manusia membuat rumah, pakaian, dsb. Pertanyaan-pertanyaan etiologis ini dijawab dalam cerita Tantu Panggelaran.
Selain itu cerita ini mementingkan proses pengaturan alam semesta, dari dunia yang khaos menjadi dunia yang teratur (kosmos). Hal ini juga dapat ditemui dalam cerita-cerita orientalis kuna. Para Dewa sangat menghargai dunia yang teratur. Motif ini dijumpai dari cerita-cerita Yunani kuna sampai cerita-cerita India.
Di samping itu terdapat perbedaan teologis antara cerita Jawa Pertengahan ini dengan teologi Hindu di India. Di dalam kisah ini diceritakan bahwa Batara Guru adalah ayah dari dewa-dewa yang lainnya. Gunung menjadi tempat yang keramat, tempat para dewa. Motif ini juga terdapat dalam dunia teologis orientalis. Ishak dipersembahkan di gunung Moria (Yerusalem). Zarathustra atau Zoroaster ketika berkotbah juga naik ke gunung. Firaun membuat piramida yang juga melambangkan gunung. Agama masyarakat Indonesia kuna juga membuat punden berundak-undak yang juga melambangkan gunung.

Sumber Bacaan:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996. Khasanah Budaya Nusantara VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Aligufron, 2007. Ceritera Rakyat dalam Buku Tantu Panggelaran. http://aligufron.multiply.com/journal/item/158/Ceritera_Rakyat_dalam_Buku_Tantu_Panggelaran
________. . Sisa Kahyangan di Gunung Penanggungan. www.arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=146

panakawan


Menurut bahasa Punakawan berarti pelayan, di dunia wayang, dibedakan antara pelayan tokoh baik dan pelayan tokoh jahat. Pelayan tokoh baik diwakili oleh Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka biasanya menemani, mengibur dan memberi nasehat bagi para kesatria dalam sebuah perjalanan. Dalam sebuahlakon (pementasan) wayang kulit, punawan biasanya dikeluarkan untuk sesi dagelan (lawakan) ditengah cerita. Tujuannya adalah memberikan istirahat sejenak agar para penonton tidak jenuh (maklum pementasan wayang kulit biasanya semalam suntuk). Menurut cerita semar sebenarnya adalah dewa (atau mungkin orang suci) yang melindungi jawa, sedangkan petruk, gareng dan bagong adalah anak angkat dari Semar. Berikut adalah galeri dari para punakawan.
Pelayan tokoh jahat diwakili oleh Togog dan Sawarita. Togog yang merupakan saudara dari Semar tapi kebalikan dari, kalau semar menemani tokoh yang baik maka Togog menemani raksasa yang jahat. Togog selalu ditemani oleh Sarawita atau Bilung.
Tokoh pelayan lain adalah wayang dayang yaitu Cangik dan putrinya Limbuk.