Sebagian dari kita tentu tahu kisah berjenis Panji berjudul
Damarwulan-Minakjinggo. Kisah yang dianggap legenda ini begitu popular
di Jawa Timur karena mengungkapkan perseteruan antardua kerajaan, yang
satu sebuah kerajaan besar bernama Majapahit, yang satu lagi kerajaan
yang tak pernah tunduk terhadap hegemoni kerajaan besar itu, yakni
Kerajaan Blambangan. Perseteruan ini melahirkan Perang Paregreg.
Kerajaan Blambangan terletak di timur Kota Banyuwangi di Jawa Timur.
Bila kita melihat peta, letak Blambangan berbatasan langsung dengan
Selat Bali, dengan begitu kita yakin bahwa kerajaan ini merupakan
kerajaan pesisir. Bila melihat namanya, Blambangan berasal dari kata
bala yang artinya “rakyat” dan ombo yang artinya “besar” atau “banyak”.
Dengan begtu, kita dapat pahami bahwa Blambangan adalah “kerajaan yang
rakyatnya cukup banyak”.
Tak ada berita yang pasti sejak kapan kerajaan ini berdiri. Dari kisah
Damarwulan-Minakjinggo diketahui bahwa pada masa Majapahit kerajaan ini
telah ada dan berdaulat. Namun demikian, ada beberapa sumber yang memuat
nama Blambangan, yakni Serat Kanda (ditulis abad ke-18), Serat
Damarwulan (ditulis pada 1815), dan Serat Raja Blambangan (ditulis
1774), di mana proses penulisannya dilakukan jauh setelah masa kejayaan
Blambangan, yakni ketika masa Mataram-Islam dan kekuasaan Kompeni
Belanda di Jawa tengah relatif kukuh. Di samping mengacu kepada sumber
berjenis sekunder seperti ketiga serat tadi, kita masih memiliki sumber
primer yang bisa dikaitkan dengan keberadaan Blambangan, yakni
Pararaton, yang meski tak menyebutkan nama Blambangan namun kemunculan
nama Arya Wiraraja dan Lamajang akan membantu kita menyibakkan kabut
yang menyelimuti sejarah awal Kerajaan Blambangan.
Istana Timur Majapahit
Untuk melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan diakui cukup sulit.
Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran untuk menentukan
sejarah awal kerajaan ini. Namun, bila kita memetakan sejarah awal
Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, maka
sedikit celah akan terkuak bagi kita guna menuju pencarian awal mula
Blambangan.
Pelacakan ini bisa dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R.
Wijaya) dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna
meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang
yang telah menggulingkan Kertanagara di Singasari. Menurut Pararaton,
Raden Wijaya berjanji, bahwa jika Jayakatwang berhasil dijatuhkan, kelak
kekuasaannya akan dibagi dua, satu untuk dirinya, satu lagi untuk Arya
Wiraraja. Arya Wiraraja ini ketika muda merupakan pejabat di Singasari,
yang telah dikenal baik oleh Raden Wijaya yang tak lain menantu dan
keponakan Kertanagara.
Ketika Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit tahun 1293, Arya
Wiraraja diberi jabatan sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri
Arya Wiraraja Makapramuka. Namun, rupanya Wiraraja pada tahun 1296 sudah
tidak menjabat lagi, hal ini sesuai dengan isi Prasasti Penanggungan
yang tak mencatat namanya. Muljana menjelaskan bahwa penyebab
menghilangnya nama Wiraraja dari jajaran pemerintahan Majapahi karena
pada 1395, salah satu putranya bernama Ranggalawe memberontak terhadap
Kerajaan lalu tewas. Peristiwa ini membuat Wiraraja sakit hati dan
mengundurkan diri, seraya menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai
wilayah yang dulu pernah dijanjikan. Pada 1294, raja pertama Majapahit
itu mengabulkan janjinya dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit
sebelah timur yang beribukota di Lamajang (kini Lumajang).
Babad Raja Blambangan memberi tahu kita bahwa wilayah Lumajang yang
diberikan pada Arya Wiraraja adalag berupa hutan, termasuk Gunung Brahma
(kini Gunung Bromo) hingga tepi timur Jawi Wetan (Jawa Timur), bahkan
hingga Selat Bali (”Wit prekawit tanah Lumajang seanteron ipun
kedadosaken tanah Blambangan”). Menurut teks Babad Raja Blambangan, Arya
Wiraraja memerintah di Blambangan sejak 1294 hingga 1301. Ia digantikan
putranya, Arya Nambi, dari 1301 sampai 1331. Setelah Nambi terbunuh
karena intrik politik pada 1331, takhta Kerajaan Blambangan kosong
hingga 1352. Yang mengisi kekosongan ini adalah Sira Dalem Sri Bhima
Chili Kapakisan, saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem
Sri Kapakisan di Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.
Kesaksian Babad Raja Blambangan berkesesuaian dengan apa yang tertulis
pada Pararaton. Dikisahkan, pada 1316 Nambi, seorang pengikut setia
Raden Wijaya sekaligus Patih Amamangkubhumi Majapahit yang pertama,
memberontak pada masa pemerintahan Jayanagara, seperti yang dijelaskan
Pararaton. Riwayat lain, yakni Kidung Sorandaka, menceritakan
pemberontakan Nambi terjadi setelah kematian ayahnya yang bernama
Pranaraja (sementara Kidung Harsawijaya menyebut ayah Nambi adalah
Wiraraja). Pararaton mengisahkan, Nambi tewas dalam benteng
pertahanannya di Desa Rabut Buhayabang, setelah dikeroyok oleh Jabung
Tarewes, Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang. Sebelumnya, benteng
pertahanan di Gending dan Pejarakan yang dibangun Nambi, dapat
dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi sekeluarga tewas
dalam peperangan itu. Menurut Nagarakretagama, yang memimpin penumpasan
Nambi adalah Jayanagara sendiri. Dalam peristiwa ini, jelas Nambi berada
di Lamajang dan dibantu oleh pasukan Majapahit Timur, wilayah yang
menjadi kekuasaan Wiraraja. Namun belum jelas, apakah Wiraraja masih
hidup saat peristiwa Nambi berlangsung.
Pemaparan di atas, dalam upaya menjelaskan keberadaan Blambangan, tentu
belum dirasakan memuaskan, karena walau bagaimana pun, semua data di
atas tak menyebutkan nama Blambangan. Untuk itu, kita langkahkan lagi
penelesuran kita ke masa yang lebih kemudian, yakni masa Perang
Paregreg, peperangan antara “Keraton Barat” versus “Keraton Timur” di
wilayah Majapahit.
“Kedaton Wetan” dan Perang Paregreg 1406 M
Bila merujuk ke Pararaton, kita akan mengetahui bahwa ayah angkat
sekaligus kakek dari istri Bhre Wirabhumi, yakni Bhre Wengker yang
bernama Wijayarajasa (suami Rajadewi), mendirikan keraton baru di
Pamotan dan bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan. Bhatara
Parameswara ini juga adalah mertua Hayam Wuruk karena putrinya yang
bernama Paduka Sori meikah dengan raja ini. Setelah Bhatara Parameswara
wafat tahun 1398 M, keraton di Pamotan diserahkan kepada Bhre Wirabhumi.
Bila menghubungkan berita Pararaton dengan berita pada Sejarah Dinasti
Ming, kita bisa melihat adanya kesesuaian. Kronik Cini memberitakan
bahwa pada 1403 M di Jawa terdapat “Kerajaan Barat” dan “Kerajaan Timur”
yang tengah berseteru. Diberitakan bahwa pada tahun itu Bhre Wirabhumi,
penguasa Kerajaan Timur, mengirim utusan kepada Cina guna mendapatkan
pengakuan Kaisar Cina. Hal ini membuat Wikramawardhana, penguasa
Kerajaan Barat, marah dan segera ia membatalkan masa kependetaannya yang
telah dimulai sejak 1400. Selama itu yang menjalankan roda pemerintahan
adalah istrinya, Kusumawardhani. Dengan begitu jelas, bahwa penguasa
“Kerajaan Timur” yang diperikan oleh Sejarah Dinasti Ming ini mengacu
pada penguasa di Pamotan, yakni Bhre Wirabhumi. Namun kemudian, muncul
masalah baru: apakah istilah Kerajaan Timur pada masa Bhre Wirabhumi
sama dengan istilah “Istana Timur” pada masa Arya Wiraraja?
Pada 1403 Kaisar Yung Lo di Cina mengirim utusan ke Jawa guna
memberitahukan bahwa dirinyalah yang menjadi Kaisar Cina. Hubungan
Cina-Jawa makin mesra ketika Wikramawardhana menerima stempel perak
berlapis emas dari Kaisar Yung Lo. Sebagai terima kasih, Wikramawardhana
mengirim utusannya ke Cina dengan membawa upeti. Rupanya kiriman
stempel perak-emas itu membangkitkan keinginan Bhre Wirabhumi untuk
mengirimkan upeti ke Cina. Pengirim utusan oleh Wirabhumi ini memiliki
maksud yang lebih khusus: meminta pengakuan dari Kaisar Cina. Pengesahan
resmi dari Kaisar Cina terhadap Bhre Wirabhumi di Kerajaan Timur
membuat geram Wikramawardhana yang tengah bertapa. Ketika mendengar Bhre
Wirabhumi diakui oleh Kaisar Cina, pada 1403 Wikramawardhana kembali
mengemban pemerintahan. Tiga tahun berikutnya, 1406, baik Kerajaan Barat
maupun Kerajaan Timur sama-sama meminta dukungan kepada kerabat istana
Majapahit lain untuk mendukung mereka.
Pararaton mencatat, Perang Paregreg (“perang yang berangsur-angsur”)
antara Wikramawardhana-Bhre Wirabhumi terjadi pada tahun Saka
naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406). Setelah Wikramawardhana
berhasil mengalahkan Kerajaan Timur, Bhre Wirabhumi melarikan diri saat
malam dengan menumpang perahu. Namun ia berhasil dikejar oleh Bhra
Narapati Raden Gajah, kepalanya dipancung lalu dibawa ke Majapahit untuk
dipersembahkan kepada Bhra Hyang Wisesa. Kepala Bhre Wirabhumi kemudian
ditanam di Desa Lung. Candinya dibangun pada tahun itu juga (1406),
bernama Grisapura.
Perang ini berawal dari ketidaksetujuan Bhre Wirabhumi, anak Sri
Rajasanagara atau Hayam Wuruk dari selir, atas penunjukan Suhita, putri
pasangan Kusumawardhani (putri Hayam Wuruk) dengan Wikramawardhana,
menjadi penguasa Majapahit. Sebelumnya, pada 1389 Wikramawardhana,
menantu sekaligus keponakan Hayam Wuruk, dinobatkan menjadi raja, lalu
setelah 12 tahun memerintah, Wikramawardhana turun takhta dan menjadi
pendeta. Penunjukan Suhita oleh Wikramawardhana tidak disetujui Bhre
Wirabhūmi. Wirabhumi, walau sebatas anak dari seorang selir, merasa
lebih berhak atas takhta Majapahit karena ialah satu-satunya anak lelaki
dari Hayam Wuruk. Ia melihat bahwa Suhita kurang berhak atas takhta
tersebut karena hanya seorang wanita dari seorang putri Hayam Wuruk,
yakni Kusumawardhani. Bhre Wirabhumi sendiri, menurut Nagarakretagama,
menikah dengan Nagarawardhani, sedangkan menurut Pararaton ia menikah
dengan Bhre Lasem yakni Sang Alemu alias Indudewi, kemenakan Hayam Wuruk
sekaligus anak dari Rajadewi (Rajasaduhitendudewi). Rajadewi dalam
Nagarakretagama, yang identik dengan Bhre Daha menurut Pararaton, ini
adalah bibi Hayam Wuruk.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Bhre Daha, ibu angkat Bhre Wirabhumi yakni
Rajasaduhitendudewi, diboyong oleh Hyang Wisesa ke Kedaton Kulon,
Majapahit. Siapa orang yang menggantikan Bhre Wirabhumi menjadi penguasa
Daha, tidak diketahui. Pararaton hanya menceritakan bahwa pada 1359
Saka (1437 M), yang menjadi penguasa Daha adalah Jayawardhani Dyah
Jayeswari, putri bungsu Bhre Pandan Salas.
Setelah Perang Paregreg, takhta Majapahit masih dipegang oleh
Wikramawardhana hingga 11 tahun kemudian. Pada 1349 Saka (1427 M)
Wikramawardhana wafat, takhta Majapahit lalu diserahkan kepada Suhita.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Kerajaan Timur bersatu dengan Kerajaan
Barat. Namun, di laih pihak banyak daerah bawahan di luar Jawa yang
melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Dari uraian di atas, sama, bahwa sumber-sumber tertulis yang lebih tua,
yakni Nagarakretagama pada abad ke-14 tidak mencantumkan nama
“Blambangan” untuk wilayah yang dikuasai Arya Wirajaja; pun Pararaton
yang ditulis sekitar abad ke-15 dan 16 tidak menyebutkan nama itu,
melainkan “Istana Timur” untuk wilaya yang dikuasai oleh Bhre Wirabhumi.
Istilah “Blambangan” sebagai sebuah kerajaan baru muncul pada abad-abad
selanjutnya, yakni abad ke-18 pada masa Mataram-Islam, dua abad setelah
era Paregreg. Namun ada pengecualian, naskah Bujangga Manik yang
ditulis sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 menyebutkan nama
tempat “Balungbungan” yang terletak di ujung timur Jawa Timur sebagai
tempat ziarah kaum Hindu (hal ini akan dibahas pada uraian selanjutnya).
Panarukan, Pelarian Dyah Ranawijaya Raja Kediri
Namun, sebelum putus asa, ada data menarik yang akan membimbing kita
menelusuri kabut sejarah kerajaan ini. Data itu menguraikan sebuah
peristiwa yang terjadi pada akhir abad ke-16, setengah abad setelah masa
Paregreg, yakni penyerangan pasukan Demak ke Daha, ibukota Kediri. Saat
itu, Kediri merupakan kerajaan utama setelah berhasil menyerang
Majapahit.
Muljana (1986: 300) menuturkan, pasukan Demak yang Islam menyerang Tuban
pada 1527; setelah Tuban, laskar Demak menyerang Daha, ibukota Kediri
pada tahun itu juga. Raja Kediri, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya
(diidentifikasikan sama dengan tokoh Bhatara Wijaya atau Brawijaya dalam
serat) melarikan diri ke Panarukan, sementara Kediri jatuh ke tangan
Demak. Dyah Ranawijaya sendiri sebelumnya pernah mengalahkan Bhre
Kertabhumi Raja Majapahit pada 1478. Penyerangan itu dalam rangka balas
dendamnya, karena ayahnya, Suraprabhawa Sang Singawikramawardhana yang
duduk di keraton Majapahit diserang oleh Bhre Kretabhumi, sehingga
menyebabkan Suraprabhawa mengungsi ke Daha, Kediri. Pendapat ini
didukung oleh Prasasti Petak yang menyebutkan, keluarga Girindrawardhana
pernah berperang melawan Majapahit lebih dari satu kali.
Berita dari Serta Kanda yang menyebutkan bahwa Dyah Ranawijaya, setelah
Daha jatuh ke pasukan Demak, melarikan diri ke Bali, menurut Muljana,
tak dapat dibuktikan oleh data sejarah yang lebih sahih. Sebaliknya,
Dyah Ranawija melarikan diri ke Panarukan (kini nama kecamatan di Kab.
Situbondo, Jawa Timur, utara Banyuwangi). Panarukan sendiri ketika itu
merupakan sebuah pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah
menjadi salah satu pangkalan kapal terpenting bagi Majapahit. Dengan
tibanya Ranawijaya ke kota pelabuhan ini, Kerajaan Panarukan ini bisa
dianggap sebagai kelanjutan Kediri. Dan berdasarkan penuturan orang
Belanda kemudian, kerajaan Panarukan ini dapat diidentifikasi sebagai
Kerajaan Blambangan.
Hal ini sesuai berita Portugis yang menyebutkan adanya utusan Kerajaan
Hindu di Panarukan ke Malaka pada 1528—setahun setelah Dyah Ranawijaya
diserang Demak. Utusan dari Panarukan ini bermaksud mendapatkan dukungan
orang-orang Portugis, yang tentunya bermaksud menghadang pengaruh Islam
di Jawa. Bukti lain bahwa Panarukan adalah (bagian dari) Blambangan
adalah peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana raja ke-3 Demak pada 1546.
Hanya saja, belum ada kepastian, sejak kapan pusat pemerintahan
Blambangan pindah dari Panarukan ke wilayah yang lebih timur.
Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah
kepemimpinan Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil
dikuasainya. Pasuruan ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi
kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Akan tetapi, usaha
Demak menaklukkan Panarukan/Blambangan mengalami kendala karena kerajaan
ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh
di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tak mampu menembus kota
Panarukan. Barulah ketika Pasuruan berhasil dikuasai Demak, posisi
Blambangan makin terdesak. Pada 1601 ibukota Blambangan dapat direbut
oleh pasukan Pasuruan yang dibantu Demak. Setelah dikalahkan oleh
aliansi Demak-Pasuruan, Kerajaan Blambangan mulai dimasuki budaya dan
ajaran Islam. Pusat pemerintahan pun bergeser ke selatan, ke daerah
Muncar.
Pada masa Kesultanan Mataram, penguasa Blambangan kembali menyatakan
diri sebagai wilayah yang merdeka. Usaha para penguasa Mataram dalam
menundukkan Blambangan mengalami kegagalan. Hal ini mengakibatkan
kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke
dalam budaya Jawa Tengahan. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan
Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa
baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada berbagai bentuk
kesenian dari wilayah Blambangan.
Dari uraian di atas terkesan bahwa cikal bakal Blambangan terdapat di
Panarukan, jadi bukan berasal dari “Istana Timur” di Lumajang
peninggalan Arya Wiraraja atau istana pada masa Perang Paregreg. Namun
demikian, diperlukan sejumlah pertimbangan lain untuk memutuskan apakah
tepat bila kita menyebutkan bahwa Panarukan merupakan awal mula Kerajaan
Blambangan. Hal ini akan lebih terkuak pada uraian-uraian di bawah ini.
Pangeran Tampauna (Pangeran Kedhawung) dan Tawang Alun (Sinuhun Macan Putih)
Pada abad ke-16, Blambangan berada dalam kekuasaan Bali. Kerajaan Gelgel
di Bali yang dirajai Dalem Waturengong (1460-1550) mampu memperluas
wilayahnya hingga ke bagian timur Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa.
Setelah Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yakni Dalem di Made,
satu persatu wilayah kekuasaan Gelgel melepaskan diri, di antaranya
Blambangan dan Bima (tahun 1633) dan Lombok (tahun 1640). Pada 1651,
muncul pemberontakan Gusti Agung Maruti atas Gelgel. Ketika Dewa Agung
Jambe menggantikan Dalem Di Made, kembali Gelgel merebut wilayahnya yang
terlepas pada 1686. Raja ini lalu memindahkan pusat kerajaan ke
Samarapura di Klungkung.
Pada abad ke-17, Blambangan sendiri dipimpin oleh Santaguna. Setelah
Blambangan ditaklukkan pada 1636 oleh Sultan Agung Mataram, Santaguna
digantikan oleh Raden Mas Kembar alias Tampauna pada 1637. Ketika itu,
ibukota masih di Lumajang. Pada 1639, raja ini memindahkan keraton ke
Kedhawung, sekitar Panarukan, Situbondo, sehingga bergelar Pangeran
Kedhawung. Kalimat ini menjelaskan bahwa cikal bakal Blambangan adalah
Lumajang—dan untuk ini kita bisa menarik garis ke masa Arya Wiraraja.
Pada masa Mas Tampauna ini, Blambangan selalu menjadi rebutan antara
Bali dan Mataram. Perebutan pengaruh antardua kerajaan itu berakhir
setelah kedua penguasa kerajaan itu wafat, Sultan Agung pada 1646 dan
Dewa Agung pada 1651. Pada 1649, setelah berusia sepuh, Mas Tampauna
bertapa di hutan Kedhawung menjadi begawan.
Setelah Mas Tampauna menjad begawan, pemerintahan digantikan oleh
putranya yakni Tawang Alun pada 1652. Menurut cerita, raja ini melakukan
semedhi dan memunyai gelar baru, Begawan Bayu. Di tempat bertapanya, ia
mendapat petunjuk untuk berjalan “ngalor wetan” bila ada “macan putih”.
Ia pun harus duduk di atas macan putih dan mengikuti perjalanan macan
putih tersebut menuju hutan Sudhimara (Sudhimoro). Tawang Alun lalu
mengelilingi hutan seluas 4 km2. Tempat itulah yang selanjutnya
dijadikan pusat pemerintahan dan diberi nama keraton Macan Putih (tahun
1655).
Ketika di bawah kepemimpinan Raja Tawang Alun atau Sinuhun Macan Putih,
Blambangan berusaha melepaskan diri dari Mataram. Tulisan Raffles (2008:
511) menerangkan bahwa pada 1659 M atau 1585 Saka, raja Blambangan yang
baru dilantik (tidak disebut namanya), dengan dibantu angkatan perang
dari Bali, kembali melakukan pemberontakan. Susuhunan Amangkurat I
(Sunan Tegal Arum), pengganti Sultan Agung dari Mataram, lalu
mengirimkan pasukannya untuk mengatasi pemberontakan laskar
Blambangan-Bali ini dan berhasli menguasai ibukota Blambangan.
Diberitakan, raja Blambangan—yang dipastikan adalah Tawang Alun—dan para
pengikutnya melarikan diri ke Bali. Sementara itu, pasukan Mataram
pimpinan Tumenggung Wiraguna terserang wabah penyakit yang memaksa
dirinya menarik pasukannya kembali. Mendengar itu, Amangkurat memutuskan
untuk menghukum sang tumenggung dengan alasan hendak memberontak.
Pada masa, Tawang Alun memerintah, wilayah kekuasaan Blambangan meliputi
Jember, Lumajang, Situbondo. Dikisahkan bahwa Raja Tawang Alun
berwawasan terbuka, karena meski merupakan penganut Hindu yang taat,
raja ini tidak melarang komunitas Islam berkembang. Yang menjadi
fokusnya dalah bagaimana caranya melawan arus dominasi asing.
Sebelum memindahkan ibukota ke Macan Putih, Tawang Alun sempat
mendirikan ibukota di wilayah Rowo Bayu (kini termasuk Kec. Songgon,
Banyuwangi)—jauh sebelum Mas Rempeg Jagapati menetap di Rowo Bayu.
Kepindahan ini diakibatkan serangan adik Tawang Alun sendiri, yakni Mas
Wila, yang memberontak. Menurut cerita penduduk setempat, tawang Alun
mendirikan sebuah tempat bertapa di Rowo Bayu ini.
Petilasan Tawang Alun bertapa di Rowo Bayu
Sumber: http://ikaningtyas.blogspot.com/2010_06_01_archive.html
Sepak terjang Tawang Alun ini banyak tercatat dalam arsip Belanda,
ketika masa terakhir pemerintahannya. Arsip Belanda itu, misalnya,
mencatat prosesi pembakaran jenazah (ngaben) Tawang Alun (meninggal 18
September 1691) yang begitu spektakuler. Bagaimana tak spektakuler jika
dalam upacara ngaben itu sebanyak 271 istri dari 400 istri Tawang Alun
ikut membakar diri (sati) ke dalam kobaran api?
Tempat kremasi jenazah Tawang Alun masih bisa ditemukan hingga sekarang,
posisinya berada satu kilometer dari Balai Desa Macan Putih, luasnya
sekitar setengah hektar dan dikelilingi tembok putih dengan satu pintu
pagar yang lebarnya hanya untuk dilewati satu orang. Bangunan utamanya
mirip pendopo berbentuk segienam, berlantai putih dari keramik.
Pendopo yang dipercayai sebagai tempat penyimpanan abu Tawang Alun di Desa Macan Putih, Kec. Kabat, Banyuwangi, Jawa Timur.
Sumber: http://ikaningtyas.blogspot.com/2010_06_01_archive.html
Mengenai nama Tawang Alun sebagai wilayah administratif, catatan
Bujangga Manik memerikan sebuah tempat bernama Padang Alun. Padang Alun
ini dilewatinya sehabis menapaki Balungbungan atau Blambangan (setelah
sebelumnya menyeberang dulu dari Bali), menuju wilayah Jawa Barat
melalui jalur pantai selatan Jawa. Toponimi Padang Alun di sini tentu
mengingatkan kita pada nama Tawang Alun. Dilihat dari segi semantis
(makna kata), kata padang berdekatan dengan kata tawang: padang dalam
bahasa Jawa berarti “cahaya, terbuka”, tawang berarti “terbuka, tidak
tertutup bayang-bayang” (Noorduyn, J dan A. Teeuw, 2009: 512). Dari
jabaran ini, kita bisa menyimpulkan bahwa Padang Alun pada abad
ke-15/ke-16 tak lain adalah nama alternatif dari Tawang Alun. Deskripsi
ini memperkuat dugaan bahwa nama Tawang Alun untuk penguasa wilayah ini
diambil dari nama tempat di mana ia memerintah, atau mungkin saja
sebaliknya. Kemungkinan besar, penguasa “Padang Alun” pada masa Bujangga
Manik melewati wilayah ini tak lain adalah Tawang Alun.
Reruntuhan Candi Tawang Alun di Desa Buncita, Kec. Sedati, Sidoarjo,
Jawa Timur, yang tidak terawat. Masyarakat setempat memercayai bahwa
candi ini didirikan oleh Resi Tawang Alun untuk dipersembahkan kepada
salah seorang selirnya, Putri Alun. Kebenaran kisah tersebut masih harus
diselediki, dan apakah berhunungan dengan keberadaan Raja Tawang Alun
dari Blambangan.
Sumber: http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com/2010/01/candi-tawangalun.html
“Puputan Bayu” Melawan VOC
Setelah Tawang Alun meninggal, Blambangan berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Buleleng di Bali. Setelah itu, VOC Belanda berusaha menguasai
Blambangan. Perang pun meletus pada 25 Maret 1767 dan pusat Blambangan
dapat dikuasai VOC. Namun, perjuangan rakyat Blambangan tak pernah
padam. Pangeran Agung Wilis atau Wong Agung Wilis, yang baru dilantik
menjadi raja Blambangan, langsung angkat senjata melawan VOC. Sayang,
Pangeran Agung Wilis dapat ditangkap VOC dan diasingkan ke Selong, dekat
Pasuruan.
Perjuangan rakyat Blambangan dilanjutkan oleh Mas Rempeg Jagapati. Pada
18 Desember 1771, laskar Blambangan berhasil membunuh pimpinan pasukan
VOC, Van Schaar. Tanggal inilah yang didipakai sebagai Hari Jadi
Banyuwangi. Pada 2004, pemerintah Banyuwangi membangun sebuah monument
guna memperingati perang Puputan Bayu tersebut yang dipimpin oleh Rempeg
Jagapati itu.
Jagapati merupakan keturunan Tawang Alun. Saat itu pusat Kerajaan
Blambangan berada di Lateng (sekarang Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi).
Ia melarikan diri karena tidak puas terhadap VOC yang mengangkat raja
Islam yang ternyata korup. Jagapati segera menobatkan diri sebagai
Susuhunan Jagapati di Rowo Bayu dengan menghimpun prajurit-prajurit
Blambangan yang kecewa. Di Rowo Bayu, Jagapati membangun tempat yang
mirip kerajaan. Kini, Rowo Bayu sebuah rawa di kaki Gunung Raung yang
dikelilingi hutan pinus seluas delapan hektar. Rawa yang airnya berwarna
hijau ini merupakan pertemuan tiga mata air, yakni Sendang Kaputren,
Sendang Wigangga, dan Sendang Kamulyan.
Pemandangan di sekitar Rowo Bayu di Desa Bayu, Kec. Songgon, di kaki Gunung Raung.
Sumber: http://ikaningtyas.blogspot.com/2010_06_01_archive.html
Perlawanan Pangeran Jagapati ini diramaikan oleh seorang pejuang wanita
bernama Mas Ayu Wiwit. Pada 1771 pejuang ini bersama rakyat Blambangan
melawan serbuan Belanda yang bermarkas di Desa Songgon dan juga melawan
serangan rakyat Madura pesisir Jawa Timur yang dipimpin oleh Ki
Suradiwirya dan Ki Pulangjiwa. Mas Ayu Wiwit, Mas Jagapati, bersama para
pemimpin pasukan seperti Ki Keboundha, Ki Tumbhakmental, Ki
Kebogegambul, Ki Kidang Salendhit, Ki Sudukwatu, dan Ki Jagalara dengan
sekuat tenaga mempertahankan tanah Blambangan. Perang Puputan Bayu
berlangsung sejak 2 Agustus 1771 sampai 18 Desember 1771.
VOC yang marah segera mengirimkan 1.500 pasukannya guna menumpas
prajurit Blambangan, pada Oktober 1772. VOC membakar lumbung-lumbung
padi di Songgon, sehingga perlawanan rakyat Blambangan melemah karena
kelaparan. Perang pun pecah kembali. Kali ini, ribuan prajurit
Blambangan dibunuh, kepala mereka digantungkan di pohon-pohon di sekitar
Rowo Bayu. Rakyat Blambangan yang semula berjumlah 8.000-an hanya
tersisa sekitar 2.000 ribuan jiwa akibat serangan VOC itu. Penduduk
Blambangan lainnya memilih menyebrang ke Bali atau ke wilayah pegunungan
di sebelah selatan atau baratdaya.
Diperkirakan, setelah Puputan Bayu selesai, lebih dari separuh penduduk
Blambangan lenyap. Untuk menutupi kekurangan jumlah penduduk ini,
pemerintah kolonial Belanda mengerahkan penduduk dari wilayah lain untuk
mendiami Blambangan. Sementara itu, penduduk Blambangan yang tidak
melarikan diri kini dikenal sebagai masyarakat “sing”. Kata sing berarti
“tidak”, dan di sini bermakna “orang yang tidak ikut mengungsi”. Baru
seabad kemudian, pada masa Thomas Raffles, penduduk Banyuwangi tercatat
berkisar 8.554 jiwa.
Muncar, Ibukota Baru
Setelah Perang Puputan Bayu berakhir, VOC memindahkan ibukota kerajaan
ke wilayah Muncar karena letaknya yang berdekatan dengan Pelabuhan
Ulupampang (kini bernama Pelabuhan Muncar). Hak ini dilakukan VOC atas
pertimbangan guna mengawasi Selat Bali dikarenakan kerajaan-kerajaan
Gelgel dan Mengwi di Bali berusaha merebut Blambangan kembali. Keinginan
raja-raja Bali untuk merebut Blambangan dapat dimengerti mengingat
sebelumnya kerajaan-kerajaan di Bali itu selalu memberikan bantuan
kepada Blambangan saat peperangan melawan VOC maupun melawan
kerajaan-kerajaan Islam.
Melihat ancaman yang serius dari Selat ini membuat VOC akhirnya terpaksa
bekerja sama dengan Mataram. Tujuannya: agar untuk memutus hubungan
Blambangan dengan Bali dengan jalan islamisai Blambangan. Mulailah pihak
Mataram menempatkan orang-orang Islam untuk dijadikan raja di
Blambangan dengan harapan proses islamisasi berlangsung lebih cepat.
Di Muncar inilah periode Kerajaan Blambangan bercorak Islam dimulai.
Dari Muncar, ibu kota Kerajaan kemudian berpindah ke Banyuwangi (saat
ini menjadi letak Pendopo Kabupaten Banyuwangi). Pada masa ibukota di
Muncar ini, otomatis eksistensi Blambangan sebagai kerajaan telah
lenyap.
Ketika islamisasi makin berkembang di Blambangan, banyak warga yang
memilih untuk menyeberang ke Bali. Mereka masuk sebuah hutan bernama
Alas Purwo, karena bersiteguh memegang agama Hindu dan menolak
pengislaman dari pihak Mataram yang ada di Blambangan.
Sementara itu, Pelabuhan Muncar sendiri merupakan jantung pertahanan
sekaligus pusat militer VOC pada abad ke-17 dan ke-18 di Blambangan. VOC
mengangkat warga Tionghoa menjadi kepala pelabuhan. Pelabuhan ini cukup
ramai dikunjungi pedagang-pedagang dari Cina, Arab, dan beberapa
wilayah Nusantara, sehingga di sekitar pelabuhan terdapat
perkampungan-perkampungan berbagai etnis tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka sebuah garis bisa kita tarik
untuk memetakan wilayah-wilayah Kerajaan Blambangan ini. Bila dirunut
dari masa Lumajang, sebagai tempat asal, hingga Muncar sebagai ibukota
terakhir, jelas bahwa pusat Blambangan terus bergeser ke arah timur, dan
jelas pula bahwa Kerajaan Blambangan merupakan negara yang selalu
berada dalam kondisi politik yang bersitegang dan penuh dengan konflik
luar negeri.
Letak Istana
Membicarakan letak istana(-istana) Blambangan tentu tak mudah. Hal ini,
pertama, dikarenakan pusat kerajaan ini berpindah-pindah. Bila kita
menetapkan bahwa pusat pemerintahan pertama kerajaan Blambangan adalah
Lumajang lalu Panarukan, maka sepatutnya kita menelusuri jejak-jejak
budaya di dua kota tersebut. Namun, sejauh ini, belum ada temuan yang
bisa menuntun kita ke arah sana. Maka dari itu, penelusuran kita alihkan
ke arah yang lebih timur/tenggara, tepatnya ke Banyuwangi.
Masyarakat yang mengatasnamakan Forum Penyelamat Situs Macan Putih
pernah melakukan penggalian di 17 titik, namun kegiatan itu tak sampai
rampung. Walau begitu, bukannya tak ada bukti sama sekali mengenai
bangunan pada masa Kerajaan Blambangan ini. Warga sekitar Desa Macan
Putih masih sering menemukan sisa-sisa batu bata yang diperkirakan bekas
bangunan kerajaan, berukuran dua kali lebih besar dibanding ukuran batu
bata saat ini. Mengenai fungsi dari sisa-sisa batu bata itu masih belum
jelas, apakah sebagai pagar keraton, benteng, atau dinding keraton.
Yang bisa dipastikan, batu-batu itu berasal dari masa prakolonial
Belanda.
Selain di Desa Agung Macan Putih, ada pula Situs Umpak Songo di Desa
Tembokrejo, Kecamatan Muncar, yang dipercaya sebagai bekas reruntuhan
bagian kerajaan atau benteng kerajaan yang memiliki panjang sekitar 5
km. Di dalam situs ini terdapat 49 batu besar dengan sembilan batu di
antaranya berlubang di tengah. Kesembilan batu yang tengahnya berlubang
itu berfungsi sebagai umpak atau penyangga, karena itulah situs ini
dinamakan Umpak Songo (Sembilan Penyangga). Ketika ditemukan, situs ini
terpendam pada kedalaman 1 – 0,5 m dari permukaan tanah, membentang dari
Masjid Pasar Muncar hingga area persawahan Desa Tembokrejo. Diduga,
benteng atau istana ini merupakan peninggalan Blambangan pada saat
ibukota pindah ke Muncar.
Bangunan lain yang merupakan peninggalan Kerajaan Blambangan pada
periode Muncar adalah Siti Hinggil (Setinggil) yang bermakna “Tanah yang
Ditinggikan” (siti adalah tanah, hinggil/inggil adalah tinggi). Siti
Hinggil ini berada di sebelah timur pertigaan Pasar Muncar. Fungsi Siti
Hinggil adalah sebagai pos pengawasan VOC untuk memata-matai musuh dari
kerajaan-kerajaan Bali yang akan melakukan penyerangan, yakni berupa
batu pijakan yang terletak di atas gundukan batu tebing guna mengawasi
keadaan di sekitar Teluk Pangpang. Jarak Sitihinggil ini dari Situs
Umpak Songo cukup ditempuh dalam waktu 10 menit ke arah timur.
Ada pula kolam dan sebuah sumur kuno yang ditemukan di sekitar Pura
Agung Blambangan, yakni di Desa Tembok Rejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten
Banyuwangi. Beberapa benda peninggalan sejarah Blambangan yang lainnya
terdapat di Museum Daerah berupa guci dan asesoris gelang lengan.
Blambangan, Pusat Keagamaan
Dari teks Bujangga Manik yang ditulis sekitar abad ke-16, kita dapat
memperoleh sebuah nama daerah sebagai tempat bertapanya kaum agamawan
Hindu, yakni “Balungbungan” yang, bila merujuk teks naskah tersebut,
terletak di ujung timur Pulau Jawa. Sangat mungkin sekali bahwa nama
Blambangan pada abad ke-16 (dan juga abad-abad sebelumnya) adalah
Balungbungan, atau Balungbungan merupakan penulisan lain dari Blambangan
atau Balambangan.
Ada pun tokoh dalam Bujangga Manik adalah seorang bangsawan Sunda dari
keraton Pakuan yang bercita-cita menjadi pertapa yang mencari jalan
menuju kehidupan abadi. Tokoh ini menolak menikah dan memilih untuk
bertapa di Balungbungan, guna mencari tempat peristirahatan terakhir.
Setiba di Balungbungan, setelah berhari-hari berjalan menapaki wilayah
utara Jawa dari Pakuan (di sekitar Bogor, Jawa Barat), tokoh ini
melakukan laku tapa, mendirikan pesanggrahan, berkebun, dan mendirikan
lingga. Di tempat ini ia tinggal selama setahun lebih setelah didatangi
oleh seorang biarawati (“ebon”) yang ingin ikut bertapa. Tokoh ini
memilih untuk melanjutkan perjalanannya ke Bali daripada harus ditemani
seorang yang wanita—karena takut akan godaan melakukan hal-hal yang
dilarang.
Dari keterangan yang diperoleh dari naskah berbahasa Sunda Kuno
tersebut, jelas bahwa Balungbungan merupakan salah satu tujuan kaum
agama kala itu yang ingin menjadi pertapa dan tujuan para peziarah dari
berbagai pelosok. Meski tak ada keterangan lain yang diperoleh dari
naskah tersebut mengenai Balungbungan kecuali sebagai tempat keagamaan,
namun kiranya kita dapat memahami sepenggal peranan Balungbungan pada
masa bersangkutan. Dari uraian Bujangga Manik kita diyakinkan bahwa
agama yang dipeluk oleh sebagian masyarakat Blambangan pra-Islam adalah
Hindu.
Pada abad ke-16, ketika kerajaan-kerajaan di Jawa telah bercorak Islam,
hanya ada dua kerajaan yang berpegang teguh pada coraknya yang Hindu,
yakni Sunda-Pajajaran dan Blambangan. Dua kerajaan ini pula yang
melakukan hubungan politik dengan Portugis yang bermarkas di Malaka.
Persekutuan ini merupakan usaha politis dua kerajaan tersebut dalam
menahan penetrasi kerajaan-kerajaan Islam yang justru tengah berusaha
menghalau pengaruh Portugis di kawasan Nusantara.
Setelah pengaruh Mataram dan terlebih-lebih setelah VOC mengalahkan
perjuangan masyarakat Blambangan, eksistensi keberagamaan Hindu di
Blambangan pun berubah. Sejak saat itu, perlahan-lahan Islam mulai
diimani oleh sebagian masyarakat Blambangan—juga agama Nasrani yang
diperkenalkan oleh Belanda.
Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Tak banyak sumber yang memberitakan mengenai sistem sosial dan ekonomi
yang dianut oleh masyarakat Blambangan. Tome Pires (Lombard, 2008: 171)
menulis bahwa pada abad ke-15 dan 16, Pulau Jawa banyak memprosuksi
hamba atau hulun alias budak, dan Blambangan merupakan salah satu
pengekspor golongan masyarakat tersebut.
Ada pun kehidupan ekonomi-sosial masyarakat Blambangan sangat bergantung
pada padi. Hal ini berkesesuaian dengan berita bahwa pasukan VOC
membakar lumbung-lumbung padi saat menyerang Blambangan. Fakta bahwa
baik Panarukan maupun Muncar adalah kota-pelabuan menimbulkan anggapan
bahwa kehidupan ekonomi kawula Blambangan bergantung pula pada
penghasilan laut. Selanjutnya, belum diketahui pasti apa lagi hasil bumi
yang dikelola oleh masyarakat Blambangan, namun kiranya dapat
disejajarkan dengan apa yang digarap oleh masyarakat Majapahit.
Blambangan dalam Roman Damarwulan-Minakjinggo
Muljana menulis bahwa cerita roman Damarwulan dan Minakjinggo muncul
setelah meletusnya Perang Paregreg yang terjadi pada 1406. Perang inilah
yang menginspirasi sastrawan Jawa—yang entah siapa orangnya—untuk
membuat kisah Damarwulan-Minakjinggo. Tak terhitung sudah berapa kali
kisah Damarwulan-Minakjinggo dipentaskan dalam seni sendratari,
ketoprak, dan teater.
Kisah Damarwulan-Minakjinggo sendiri tercatat sedikitnya dalam tiga buah
serat: Serat Kanda, Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan. Penulis
Serat Kanda, yakni sastrawan keraton Yogya, menurut Muljana, tak
mengetahui pasti fakta-fakta sejerah seputar Perang Paregreg. Maka dari
itu, cukup beresiko pula bila kita menghubungkan kisah
Damarwulan-Minakjinggo ini dengan peristiwa Paregreg. Apalagi semua
serat itu ditulis pada masa kerajaan Islam, berabad kemudian setelah
peristiwa berlangsung.
Dikisahkan, penguasa Blambangan bernama Minakjinggo ingin mempersunting
Ratu Majapahit Kenya Kencanawungu. Ia menaikkan statusnya, dari adipati
menjadi raja Blambangan dengan gelar Prabu Urubisma. Sang Ratu yang tak
ingin diperistri oleh Minakjinggo (yang digambarkan bertabiat kasar,
buruk rupa, dan berbadan besar) yang sudah memiliki dua orang istri,
Dewi Puyengan dan Dewi Waita. Sang Ratu segera mengadakan sayembara:
barang siapa yang bisa mengalahkan Minakjinggo, ia akan diberi hadiah
berlimpah. Raja Minakjinggo pun mengobrak-abrik Majapahit dengan Gada
Wesi Kuningnya. Sebelum ke Majapahit, pasukan Blambangan menyerang
Lumajang; bahkan dikirim pula utusan ke Ternate untuk diminta bantuan
oleh Minakjingo. Para prajurit dan pejabat Majapahit banyak yang gugur,
termasuk Ranggalawe. Tatkala situasi tak menentu ini, datanglah
Damarwulan. Damarwulan adalah putra dari Patih Majapahit bernama Udara.
Setelah dewasa ia mengabdi kepada pamannya, Patih Loh Gender di
Majapahit, bekerja sebagai tukang rumput. Putri sang Patih, Dewi
Anjasmara, terpikat pada Damarwulan.
Singkat cerita, Damarwulan menghadap Kencanawungu dan diangkat menjadi
panglima Majapahit. Berangkatlah Damarwulan menghadapi Minakjinggo.
Berkat bantuan kedua istri Minakjinggo, Waita dan Puyengan, Damarwulan
berhasli mengalahkan Minakjinggo, memenggal kepalanya sebagai bukti
kepada Ratu kencanawungu. Damarwulan membawa kepala Minakjinggo ke
Majapahit. Namun, di tengah jalan ia dikhianati oleh dua orang anak Loh
Gender, yakni Layang Seta dan Layang Kumitir, yang mengaku sebagai
utusan Ratu Kencanawungu. Tanpa curiga, kepala Minakjinggo diserahkan
oleh Damarwulan. Cerita selanjutnya gampang ditebak. Layang Seto dan
Layang Kumitir pun dianggap pahlawan oleh ratu dan rakyat Majapahit.
Namun, akhirnya kedok mereka berdua terkuak, Damarwulan pun menikah
dengan Kencanawungu dan menjadi Raja Majapahit dengan gelar Prabu
Mertawijaya. Pernikahan Damarwulan dengan Ratu Kencanawungu membuahkan
seorang putra bernama Brawijaya.
Raffles menulis (2008: 234) bahwa pada abad ke-19 cerita
Damarwulan-Minakjingo merupakan cerita favorit orang Jawa dan kerap
dipentaskan dalam bentuk wayang klitik (wayang dari kayu dengan tinggi
10 inci) dan wayang beber (sosok wayang digambar pada lembaran kertas
yang keras di mana dalang memberikan dialog).
Sebagian masyarakat percaya bahwa Ratu Kencanawungu merupakan perwujudan
sosok Ratu Suhita, sedangkan Minakjinggo adalah Bhre Wirabhumi.
Pandangan ini tentu bersifat ahistoris dan memang bertolak belakang
dengan kajian di lapangan (misalnya terdapat nama Ranggalawe sebagai
Adipati Tuban, yang seharusnya hidup pada masa Sanggramawijaya). Akan
tetapi, terlepas dari sifatnya yang sastrawi, ada satu hal yang perlu
diperhatikan mengenai kisah roman ini: keberpihakan para penulis serat
tersebut sangat terasa, yakni berpihak kepada pihak yang menang
(Majapahit, yang diwakili oleh sosok Damarwulan) dan seolah-olah
memperolok pihak yang kalah, yakni Blambangan yang diwakili oleh sosok
Minakjinggo. Mengapa? Karena dalam seni Banyuwang dan Janger, sosok
Minakjinggo ditampilkan dengan wajah rupawan dan ia memberontak karena
Ratu Kencanawungu membatalkan rencananya untuk dinikahi oleh
Minakjinggo.
Dan tentu: serat-serat tersebut dibuat untuk mengukuhkan pengetahuan
masyarakat awam bahwa raja atau sultan Mataram-Islam (juga Pajang dan
Demak) merupakan keturunan raja-raja Majapahit, dan dengan begitu mereka
merasa lebih percaya diri untuk membangun kekuasaan mereka.
Kepustakaan
* Damayanti, Nuning dan Haryadi Suadi. 20 Mei 2009. “Ragam dan Unsur
Spiritualitas pada Ilustrasi Naskah Nusantara 1800-1900-an”. Diambil 29
September 2010. [online]. Tersedia di
http://www.wacananusantara.org/1/382/ragam-dan-unsur-spiritualitas-pada-ilustrasi-naskah-nusantara-1800-1900-an?mycustomsessionname=f92184768c5154ba2855048acf688ba7.
* Ningtyas, Ika. “Menjejaki Keagungan Kerajaan Blambangan”. [online].
Tersedia di http://ikaningtyas.blogspot.com/2010_06_01_archive.html.
* Noorduyn, J dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Terjemahan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.
* Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya 2—Jaringan Asia. Terjemahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
* Raffles, Thomas Stamford. 2008. History of Java. Terjemahan. Yogyakarta: Narasi.
* “Damarwulan.” Terdapat [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Damar_Wulan.
* _____ . “Pura di Bali“. [online]. Tersedia di http://candi.pnri.go.id/bali/index.htm
* _____ . “Memuja Mantra: Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku
Using Banyuwangi”. [online]. Tersedia di
http://books.google.co.id/books?id=gHpGFM_O_V0C&pg=PA54&lpg=PA54&dq=kedhawung&sou.
* “Sultan Trenggana”. [online]. Tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Trenggana
Sumber Tulisan; http://www.wacananusantara.org/content/view/category/6/id/739
Jumat, 28 September 2012
Babad Majapahit
Peta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan Nagarakertagama;
keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit menurut penggambaran orang Jawa
masih diperdebatkan.[1]
Ibu kota Majapahit, Wilwatikta (Trowulan)
Bahasa Jawa Kuno, Sansekerta
Agama Hindu, Buddha
Pemerintahan Monarki
Raja
- 1295-1309 Kertarajasa Jayawardhana
- 1478-1498 Girindrawardhana
Sejarah
- Penobatan Raden Wijaya 10 November 1293
- Invasi Demak 1527
Mata uang Koin emas dan perak, kepeng (koin perunggu yang diimpor dari Tiongkok)
Surya Majapahit adalah lambang yang umumnya dapat ditemui di reruntuhan Majapahit, sehingga Surya Majapahit mungkin merupakan simbol kerajaan Majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Majapahit menguasai kerajaan-kerajaan lainnya di semenanjung Malaya, Borneo, Sumatra, Bali, dan Filipina.
Kejayaan Majapahit
Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang,[2] menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Jenderal terkenal Majapahit lainnya adalah Adityawarman, yang terkenal karena penaklukannya di Minangkabau.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat nusantara
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok
Raja-raja Majapahit
Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 – 1309)
Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 – 1328)
Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 – 1350)
Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 – 1389)
Wikramawardhana (1389 – 1429)
Suhita (1429 – 1447)
Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 – 1451)
Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 – 1453)
Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 – 1466)
Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 – 1468)
Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 – 1478)
Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498)
Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
A. Raden Wijaya
Raden Wijaya (lahir: ? – wafat: Majapahit, 1309) adalah pendiri Kerajaan Majapahit sekaligus raja pertama yang memerintah pada tahun 1293-1309, bergelar Sri Maharaja Sanggramawijaya Sri Kertarajasa Jayawarddhana. Raden Wijaya nerupakan nama yang lazim dipakai para sejarawan untuk menyebut pendiri Kerajaan Majapahit. Nama ini terdapat dalam Pararaton yang ditulis sekitar akhir abad ke-15. Kadang Pararaton juga menulisnya secara lengkap, yaitu Raden Harsawijaya. Padahal menurut bukti-bukti prasasti, pada masa kehidupan Wijaya (abad ke-13 atau 14) pemakaian gelar raden belum populer.
Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri Majapahit bernama Dyah Wijaya. Gelar dyah merupakan gelar kebangsawanan yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelar Raden. Istilah Raden sendiri diperkirakan berasal dari kata Ra Dyah atau Ra Dyan atau Ra Hadyan.
Nama asli pendiri Majapahit yang paling tepat adalah Nararya Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah lebih sering digunakan.
Mendirikan Desa Majapahit
Menurut prasasti Kudadu, pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang terhadap kekuasaan Kerajaan Singhasari. Raden Wijaya ditunjuk Kertanegara untuk menumpas pasukan Gelang-Gelang yang menyerang dari arah utara Singhasari. Wijaya berhasil memukul mundur musuhnya. Namun pasukan pemberontak yang lebih besar datang dari arah selatan dan berhasil menewaskan Kertanagara.
Menyadari hal itu, Raden Wijaya melarikan diri hendak berlindung ke Terung di sebelah utara Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar musuh ia memilih pergi ke arah timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu, ia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu Arya Wiraraja penguasa Songeneb (nama lama Sumenep).
Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut kembali takhta dari tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan. Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Wijaya menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadiri menerimanya dengan senang hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan Jungbiru.
Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb untuk membantu Wijaya membuka hutan tersebut. Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah seorang Madura menemukan buah maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu, desa pemukiman yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi nama Majapahit.
Menjadi Raja Majapahit
Catatan Dinasti Yuan mengisahkan pada tahun 1293 pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa untuk menghukum Kertanagara, karena pada tahun 1289 Kertanagara telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan raja Mongol.
Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol ini untuk menghancurkan Jayakatwang. Ia pun mengundang Ike Mese untuk memberi tahu bahwa dirinya adalah ahli waris Kertanagara yang sudah tewas. Wijaya meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol.
Jayakatwang yang mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan oleh pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura bergerak menyerang Daha, ibu kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya menyerah dan ditawan dalam kapal Mongol.
Setelah Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin untuk kembali ke Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit Mongol yang mengawalnya. Ia kemudian memimpin serangan balik ke arah Daha di mana pasukan Mongol sedang berpesta kemenangan. Serangan mendadak itu membuat Ike Mese kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur pasukannya meninggalkan Jawa.
Wijaya kemudian menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Karttika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.
Masa Pemerintahan
Dalam memerintah Majapahit, Wijaya mengangkat para pengikutnya yang dulu setia dalam perjuangan. Nambi diangkat sebagai patih Majapahit, Lembu Sora sebagai patih Daha, Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai pasangguhan. Pada tahun 1294 Wijaya juga memberikan anugerah kepada pemimpin desa Kudadu yang dulu melindunginya saat pelarian menuju Pulau Madura.
Pada tahun 1295 seorang tokoh licik bernama Mahapati menghasut Ranggalawe untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi sebagai patih, dan menjadi perang saudara pertama yang melanda Majapahit. Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang pembagian wilayah kerajaan. Wijaya mengabulkannya. Maka, sejak saat itu, wilayah kerajaan pun hanya tinggal setengah, di mana yang sebelah timur dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota di Lamajang (nama lama Lumajang).
Pada tahun 1300 terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman Ranggalawe. Dalam pemberontakan Ranggalawe, Sora memihak Majapahit. Namun, ketika Ranggalawe dibunuh dengan kejam oleh Kebo Anabrang, Sora merasa tidak tahan dan berbalik membunuh Anabrang. Peristiwa ini diungkit-ungkit oleh Mahapati sehingga terjadi suasana perpecahan. Pada puncaknya, Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung tewas dibantai kelompok Nambi di halaman istana.
Akhir Hayat
Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309. Ia dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping sebagai Harihara, atau perpaduan Wisnu dan Siwa. Wijaya digantikan Jayanagara sebagai raja selanjutnya.
B. Jayanagara
Jayanagara (lahir: 1294 – wafat: 1328) adalah raja kedua Kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328, dengan bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara. Pemerintahan Jayanagara terkenal sebagai masa pergolakan dalam sejarah awal Kerajaan Majapahit. Ia sendiri meninggal akibat dibunuh oleh tabib istananya.
Asal-Usul
Menurut Pararaton, nama asli Jayanagara adalah Raden Kalagemet putra Raden Wijaya dan Dara Petak. Ibunya ini berasal dari Kerajaan Dharmasraya di Pulau Sumatra. Ia dibawa Kebo Anabrang ke tanah Jawa sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit. Raden Wijaya yang sebelumnya telah memiliki dua orang istri putri Kertanagara, kemudian menjadikan Dara Petak sebagai Stri Tinuheng Pura, atau “istri yang dituakan di istana”.
Menurut Pararaton, pengusiran pasukan Mongol dan berdirinya Kerajaan Majapahit terjadi pada tahun 1294. Sedangkan menurut kronik Cina dari dinasti Yuan, pasukan yang dipimpin oleh Ike Mese itu meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293. Naskah Nagarakretagama juga menyebut angka tahun 1293. Sehingga, jika berita-berita di atas dipadukan, maka kedatangan Kebo Anabrang dan Dara Petak dapat diperkirakan terjadi pada tanggal 4 Mei 1293, dan kelahiran Jayanagara terjadi dalam tahun 1294.
Nama Dara Petak tidak dijumpai dalam Nagarakretagama dan prasasti-prasasti peninggalan Majapahit. Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya bukan hanya menikahi dua, tetapi empat orang putri Kertanagara, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan Jayanagara dilahirkan dari istri yang bernama Indreswari. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Indreswari adalah nama lain Dara
Naik Takhta
Nagarakretagama menyebutkan Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama Jayanagara juga muncul dalam prasasti Penanggungan tahun 1296 sebagai putra mahkota. Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara Petak pada tahun 1293, maka Jayanagara dapat dipastikan masih sangat kecil ketika diangkat sebagai raja muda. Tentu saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui pula bahwa Jayanagara adalah nama asli sejak kecil atau garbhopati, bukan nama gelar atau abhiseka. Sementara nama Kalagemet yang diperkenalkan Pararaton jelas bernada ejekan, karena nama tersebut bermakna “jahat” dan “lemah”.
Jayanagara naik takhta menjadi raja Majapahit menggantikan ayahnya yang menurut Nagarakretagama meninggal dunia tahun 1309.
Kematian Jayanagara
Pararaton mengisahkan Jayanagara dilanda rasa takut kehilangan takhtanya. Ia pun melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat menikah karena khawatir iparnya bisa menjadi saingan. Bahkan muncul desas-desus kalau kedua putri yang lahir dari Gayatri itu hendak dinikahi oleh Jayanagara sendiri.
Desas-desus itu disampaikan Ra Tanca kepada Gajah Mada yang saat itu sudah menjadi abdi kesayangan Jayanagara. Ra Tanca juga menceritakan tentang istrinya yang diganggu oleh Jayanagara. Namun Gajah Mada seolah tidak peduli pada laporan tersebut.
Ra Tanca adalah tabib istana. Suatu hari ia dipanggil untuk mengobati sakit bisul Jayanagara. Dalam kesempatan itu Tanca berhasil membunuh Jayanagara di atas tempat tidur. Gajah Mada yang menunggui jalannya pengobatan segera menghukum mati Tanca di tempat itu juga, tanpa proses pengadilan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1328. Menurut Pararaton Jayanagara didharmakan dalam candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan. Sedangkan menurut Nagarakretagama ia dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanagara juga dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amogasidi.
Jayanagara meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. Oleh karena itu takhta Majapahit kemudian jatuh kepada adiknya, yaitu Dyah Gitarja yang bergelar Tribhuwana Tunggadewi
C. Tribhuwana Wijayatunggadewi
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Pemerintahan Tribhuwana
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.
Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya, Adityawarman.
Peristiwa penting berikutnya dalam Pararaton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit.
Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.
Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini kurang tepat karena menurut prasasti Singasari, pada tahun 1351 Tribhuwana masih menjadi raja Majapahit.
Akhir Hayat Tribhuwana
Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan prasasti Singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.
Tidak diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371.
Menurut Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan.
D. Hayam Wuruk
Dyah Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1351-1389, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Majapahit mencapai zaman kejayaannya.
Silsilah Hayam Wuruk
Nama Hayam Wuruk artinya “ayam yang terpelajar”. Ia adalah putra pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara. Ibunya adalah putri Raden Wijaya pendiri Majapahit, sedangkan ayahnya adalah raja bawahan di Singhasari bergelar Bhre Tumapel.
Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja alias Bhre Pajang, dan adik angkat bernama Indudewi alias Bhre Lasem, yaitu putri Rajadewi, adik ibunya.
Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Padukasori putri Wijayarajasa Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.
Masa pemerintahan Hayam Wuruk
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru (kemudian bernama Deli, dekat Medan sekarang). Majapahit juga menghancurkan Palembang, sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya (1377).
Peristiwa Bubat
Tahun 1351, Hayam Wuruk hendak menikahi puteri Raja sunda (di Jawa Barat), Diah Pitaloka Citrasemi. Pajajaran setuju asal bukan maksud Majapahit untuk mencaplok Pajajaran. Ketika dalam perjalanan menuju upacara pernikahan, Gajah Mada mendesak Pajajaran untuk menyerahkan puteri sebagai upeti dan tunduk kepada Majapahit. Pajajaran menolak, akhirnya pecah pertempuran, Perang Bubat. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan Pajajaran tewas, dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit.
“Kecelakaan sejarah” ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian
Suksesor
Tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal dengan dua anak: Kusumawardhani (yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari selirnya. Namun yang menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya, Wikramawardhana.
E. Wikramawardhana
Wikramawardhana adalah raja kelima Majapahit yang memerintah berdampingan dengan istri sekaligus sepupunya, yaitu Kusumawardhani putri Hayam Wuruk, pada tahun 1389-1427.
Silsilah Wikramawardhana dan Kusumawardhani
Wikramawardhana dalam Pararaton bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Nama aslinya adalah Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana.
Permaisurinya, yaitu Kusumawardhani adalah putri Hayam Wuruk yang lahir dari Padukasori. Dalam Nagarakretagama (ditulis 1365), Kusumawardhani dan Wikramawardhana diberitakan sudah menikah. Padahal waktu itu Hayam Wuruk baru berusia 31 tahun. Maka, dapat dipastikan kalau kedua sepupu tersebut telah dijodohkan sejak kecil.
Dari perkawinan itu, lahir putra mahkota bernama Rajasakusuma bergelar Hyang Wekasing Sukha, yang meninggal sebelum sempat menjadi raja.
Pararaton juga menyebutkan, Wikramawardhana memiliki tiga orang anak dari selir, yaitu Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya.Bhre Tumapel lahir dari Bhre Mataram, putri Bhre Pandansalas. Ia menggantikan Rajasakusuma sebagai putra mahkota, tetapi juga meninggal sebelum sempat menjadi raja.Kedudukan sebagai pewaris takhta kemudian dijabat oleh Suhita yang lahir dari Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi.
Awal Pemerintahan Wikramawardhana dan Kusumawardhani
Saat Nagarakretagama ditulis tahun 1365, Kusumawardhani masih menjadi putri mahkota sekaligus Bhre Kabalan. Sedangkan Wikramawardhana menjabat Bhre Mataram dan mengurusi masalah perdata.
Menurut Pararaton, sepeninggal Hayam Wuruk tahun 1389, Kusumawardhani dan Wikramawardhana naik takhta dan memerintah berdampingan. Jabatan Bhre Mataram lalu dipegang oleh selir Wikramawardhana, yaitu putri Bhre Pandansalas alias Ranamanggala. Ibu Bhre Mataram adalah adik Wikramawardhana sendiri yang bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan. Jadi, Wikramawardhana menikahi keponakannya sendiri sebagai selir.
Raja sakusuma sang putra mahkota diperkirakan mewarisi jabatan Bhre Kabalan menggantikan ibunya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton. Pada tahun 1398 Rajasakusuma mengangkat Gajah Menguri sebagai patih menggantikan Gajah Enggon yang meninggal dunia. Berita dalam Pararaton ini harus ditafsirkan sebagai “mengusulkan”, bukan “melantik”. Akhir Pemerintahan Wikramawardhana
Perang Paregreg membawa kerugian besar bagi Majapahit. Banyak daerah-daerah bawahan di luar Jawa melepaskan diri ketika istana barat dan timur sibuk berperang.
Wikramawardhana juga berhutang ganti rugi pada kaisar Dinasti Ming penguasa Cina. Ketika terjadi penyerbuan ke timur, sebanyak 170 orang anak buah Laksamana Ceng Ho ikut terbunuh. Padahal waktu itu Ceng Ho sedang menjadi duta besar mengunjungi Jawa.
Menurut kronik Cina tulisan Ma Huan (sekretaris Ceng Ho), Wikramawardhana diwajibkan membayar denda pada kaisar sebesar 60.000 tahil. Sampai tahun 1408 baru bisa diangsur 10.000 tahil saja. Akhirnya, kaisar membebaskan hutang tersebut karena kasihan.
Pada tahun 1426 terjadi bencana kelaparan melanda Majapahit. Bhre Tumapel sang putra mahkota meninggal dunia tahun 1427. Candi makamnya di Lokerep bernama Asmarasaba. Disusul kemudian kematian istri dan putra Bhre Tumapel, yaitu Bhre Lasem dan Bhre Wengker.
Wikramawardhana akhirnya meninggal pula akhir tahun 1427. Ia dicandikan di Wisesapura yang terletak di Bayalangu.Rajasakusuma meninggal tahun 1399. Candi makamnya bernama Paramasuka Pura di Tanjung. Kedudukan putra mahkota lalu dijabat Bhre Tumapel putra Wikramawardhana dan Bhre Mataram.
Pada tahun 1400 Wikramawardhana turun takhta untuk hidup sebagai pendeta. Kusumawardhani pun memerintah secara penuh di Majapahit.
Peninggalan sejarah Wikramawardhana berupa prasasti Katiden (1395), yang berisi penetapan Gunung Lejar sebagai tempat pendirian sebuah bangunan suci.
F. Suhita
Prabu Stri Suhita adalah raja wanita Majapahit yang memerintah tahun 1427-1447, bersama suaminya yang bernama Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja.
Pemerintahan Suhita
Suhita memerintah berdampingan dengan Ratnapangkaja bergelar Bhatara Parameswara. Pada tahun 1433 Suhita membalas kematian Bhre Wirabhumi dengan cara menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati. Dari berita ini terasa masuk akal kalau hubungan Bhre Wirabhumi dan Suhita adalah kakek dan cucu, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton.
Nama Suhita juga muncul dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong sebagai Su-king-ta, yaitu raja Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin masyarakat Cina di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng Cu ini identik dengan Arya Teja, kakek Sunan Kalijaga.
Pada tahun 1437 Bhatara Parameswara Ratnapangkaja meninggal dunia. Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1447 Suhita meninggal pula. Pasangan suami istri itu dicandikan bersama di Singhajaya.
Karena tidak memiliki putra mahkota, Suhita digantikan adiknya, yaitu Dyah Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.
G. Kertawijaya
Dyah Kertawijaya adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1447-1451 dengan gelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana. Menurut Pararaton, Kertawijaya adalah putra Wikramawardhana dari selir. Putra Wikramawardhana yang lain adalah Hyang Wekasing Sukha, Bhre Tumapel, dan Suhita. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah menjadi Bhre Tumapel, yaitu menggantikan kakaknya yang meninggal awal tahun 1427.
Kertawijaya naik takhta menggantikan Suhita tahun 1447. Pada masa pemerintahannya sering terjadi gempa bumi dan gunung meletus. Juga terjadi peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel.
Kertawijaya wafat tahun 1451. Ia dicandikan di Kertawijayapura. Kedudukannya sebagai raja digantikan Rajasawardhana
Hubungan antara Rajasawardhana dengan Kertawijaya tidak disebut secara tegas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat yang mengatakan kalau Rajasawardhana naik takhta setelah membunuh Kertawijaya. Pendapat lain mengatakan Rajasawardhana adalah putra Kertawijaya yang nama aslinya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu sebagai Dyah Wijayakumara.
H. Brawijaya
Prabu Brawijaya (lahir: ? – wafat: 1478) atau kadang disebut Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, yang memerintah sampai tahun 1478. Tokoh ini diperkirakan sebagai tokoh fiksi namun sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton. Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.
Kisah hidup
Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya[rujukan?] yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga anak tiri Arya Damar.[rujukan?]
Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Campa. Patihnya bernama Gajah Mada. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.
Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan.
Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:
Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
Prabu Brakumara
Prabu Brawijaya I
Ratu Ayu Kencanawungu
Prabu Brawijaya II
Prabu Brawijaya III
Prabu Brawijaya IV
dan terakhir, Prabu Brawijaya V
Baik itu pemerintahan Brawijaya ataupun Brawijaya V sama-sama dikisahkan berakhir akibat serangan putranya sendiri yang bernama Raden Patah pada tahun 1478. Raden Patah kemudian menjadi raja pertama Kesultanan Demak, bergelar Panembahan Jimbun
Asal usul nama
Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut.
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna “baginda”. Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna “baginda di”. Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.
Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara. Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.
Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.
Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawasebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit identik dengan daerah Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun “ditempatkan” sebagai raja yang memerintah di sana, bukan di Daha.
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan masyarakat Jawa berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui masih mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Rupanya para pujangga penulis naskah babad dan serat tidak mengetahui kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan Majapahit berpindah dari Trowulan menuju Daha.
Bhre Kertabhumi dalam Pararaton
Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis:
Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400.
Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan ambigu.[rujukan?] Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.
Teori yang cukup populer[rujukan?] menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah kronik Cina dari kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.
Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik[rujukan?] dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat.
[sunting] Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina
Naskah kronik Cina yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang.
Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.
Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah.
Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad dan serat.
Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru.
Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Cina tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Cina.
Teori keruntuhan Majapahit
Peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan, Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, namun sering diceritakan dalam berbagai versi, antara lain:
Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak Bintara. Konon Brawijaya kemudian masuk Islam melalui Sunan Kalijaga. Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan diri ke Pulau Bali. Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan serat ini uraiannya terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun sangat populer dalam masyarakat Jawa.
Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Raden Patah. Setelah itu Majapahit menjadi bawahan Kesultanan Demak. Teori ini muncul berdasarkan ditemukannya kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang.
Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan pernah terjadi peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit.
Raja terakhir adalah Bhre Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak Sang Sinagara. Teori ini muncul karena Pararaton tidak menyebutkan secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan raja terakhir Majapahit atau bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga terkesan ambigu, apakah yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka (1468 Masehi) adalah Bhre Pandansalas, ataukah anak-anak Sang Sinagara. Teori yang menyebut Bhre Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan kalau pada tahun 1478, anak-anak Sang Sinagara kembali untuk menyerang Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Bhre Pandansalas mati dibunuh oleh Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya pada tahun 1478.
Pemakaian nama Brawijaya
Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di daerah Jawa Timur.
Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya. Juga terdapat Stadion Brawijaya dan Museum Brawijaya di kota yang sama. Di samping itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah Jawa Timur dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya.
Kepustakaan
Andjar Any. 1989. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu
Babad Majapahit dan Para Wali (Jilid 3). 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Babad Tanah Jawi. 2007. (terjemahan). Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKISBabad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Ibu kota Majapahit, Wilwatikta (Trowulan)
Bahasa Jawa Kuno, Sansekerta
Agama Hindu, Buddha
Pemerintahan Monarki
Raja
- 1295-1309 Kertarajasa Jayawardhana
- 1478-1498 Girindrawardhana
Sejarah
- Penobatan Raden Wijaya 10 November 1293
- Invasi Demak 1527
Mata uang Koin emas dan perak, kepeng (koin perunggu yang diimpor dari Tiongkok)
Surya Majapahit adalah lambang yang umumnya dapat ditemui di reruntuhan Majapahit, sehingga Surya Majapahit mungkin merupakan simbol kerajaan Majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Majapahit menguasai kerajaan-kerajaan lainnya di semenanjung Malaya, Borneo, Sumatra, Bali, dan Filipina.
Kejayaan Majapahit
Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang,[2] menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Jenderal terkenal Majapahit lainnya adalah Adityawarman, yang terkenal karena penaklukannya di Minangkabau.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat nusantara
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok
Raja-raja Majapahit
Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 – 1309)
Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 – 1328)
Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 – 1350)
Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 – 1389)
Wikramawardhana (1389 – 1429)
Suhita (1429 – 1447)
Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 – 1451)
Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 – 1453)
Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 – 1466)
Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 – 1468)
Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 – 1478)
Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498)
Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
A. Raden Wijaya
Raden Wijaya (lahir: ? – wafat: Majapahit, 1309) adalah pendiri Kerajaan Majapahit sekaligus raja pertama yang memerintah pada tahun 1293-1309, bergelar Sri Maharaja Sanggramawijaya Sri Kertarajasa Jayawarddhana. Raden Wijaya nerupakan nama yang lazim dipakai para sejarawan untuk menyebut pendiri Kerajaan Majapahit. Nama ini terdapat dalam Pararaton yang ditulis sekitar akhir abad ke-15. Kadang Pararaton juga menulisnya secara lengkap, yaitu Raden Harsawijaya. Padahal menurut bukti-bukti prasasti, pada masa kehidupan Wijaya (abad ke-13 atau 14) pemakaian gelar raden belum populer.
Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri Majapahit bernama Dyah Wijaya. Gelar dyah merupakan gelar kebangsawanan yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelar Raden. Istilah Raden sendiri diperkirakan berasal dari kata Ra Dyah atau Ra Dyan atau Ra Hadyan.
Nama asli pendiri Majapahit yang paling tepat adalah Nararya Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah lebih sering digunakan.
Mendirikan Desa Majapahit
Menurut prasasti Kudadu, pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang terhadap kekuasaan Kerajaan Singhasari. Raden Wijaya ditunjuk Kertanegara untuk menumpas pasukan Gelang-Gelang yang menyerang dari arah utara Singhasari. Wijaya berhasil memukul mundur musuhnya. Namun pasukan pemberontak yang lebih besar datang dari arah selatan dan berhasil menewaskan Kertanagara.
Menyadari hal itu, Raden Wijaya melarikan diri hendak berlindung ke Terung di sebelah utara Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar musuh ia memilih pergi ke arah timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu, ia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu Arya Wiraraja penguasa Songeneb (nama lama Sumenep).
Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut kembali takhta dari tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan. Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Wijaya menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadiri menerimanya dengan senang hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan Jungbiru.
Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb untuk membantu Wijaya membuka hutan tersebut. Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah seorang Madura menemukan buah maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu, desa pemukiman yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi nama Majapahit.
Menjadi Raja Majapahit
Catatan Dinasti Yuan mengisahkan pada tahun 1293 pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa untuk menghukum Kertanagara, karena pada tahun 1289 Kertanagara telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan raja Mongol.
Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol ini untuk menghancurkan Jayakatwang. Ia pun mengundang Ike Mese untuk memberi tahu bahwa dirinya adalah ahli waris Kertanagara yang sudah tewas. Wijaya meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol.
Jayakatwang yang mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan oleh pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura bergerak menyerang Daha, ibu kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya menyerah dan ditawan dalam kapal Mongol.
Setelah Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin untuk kembali ke Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit Mongol yang mengawalnya. Ia kemudian memimpin serangan balik ke arah Daha di mana pasukan Mongol sedang berpesta kemenangan. Serangan mendadak itu membuat Ike Mese kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur pasukannya meninggalkan Jawa.
Wijaya kemudian menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Karttika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.
Masa Pemerintahan
Dalam memerintah Majapahit, Wijaya mengangkat para pengikutnya yang dulu setia dalam perjuangan. Nambi diangkat sebagai patih Majapahit, Lembu Sora sebagai patih Daha, Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai pasangguhan. Pada tahun 1294 Wijaya juga memberikan anugerah kepada pemimpin desa Kudadu yang dulu melindunginya saat pelarian menuju Pulau Madura.
Pada tahun 1295 seorang tokoh licik bernama Mahapati menghasut Ranggalawe untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi sebagai patih, dan menjadi perang saudara pertama yang melanda Majapahit. Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang pembagian wilayah kerajaan. Wijaya mengabulkannya. Maka, sejak saat itu, wilayah kerajaan pun hanya tinggal setengah, di mana yang sebelah timur dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota di Lamajang (nama lama Lumajang).
Pada tahun 1300 terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman Ranggalawe. Dalam pemberontakan Ranggalawe, Sora memihak Majapahit. Namun, ketika Ranggalawe dibunuh dengan kejam oleh Kebo Anabrang, Sora merasa tidak tahan dan berbalik membunuh Anabrang. Peristiwa ini diungkit-ungkit oleh Mahapati sehingga terjadi suasana perpecahan. Pada puncaknya, Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung tewas dibantai kelompok Nambi di halaman istana.
Akhir Hayat
Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309. Ia dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping sebagai Harihara, atau perpaduan Wisnu dan Siwa. Wijaya digantikan Jayanagara sebagai raja selanjutnya.
B. Jayanagara
Jayanagara (lahir: 1294 – wafat: 1328) adalah raja kedua Kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328, dengan bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara. Pemerintahan Jayanagara terkenal sebagai masa pergolakan dalam sejarah awal Kerajaan Majapahit. Ia sendiri meninggal akibat dibunuh oleh tabib istananya.
Asal-Usul
Menurut Pararaton, nama asli Jayanagara adalah Raden Kalagemet putra Raden Wijaya dan Dara Petak. Ibunya ini berasal dari Kerajaan Dharmasraya di Pulau Sumatra. Ia dibawa Kebo Anabrang ke tanah Jawa sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit. Raden Wijaya yang sebelumnya telah memiliki dua orang istri putri Kertanagara, kemudian menjadikan Dara Petak sebagai Stri Tinuheng Pura, atau “istri yang dituakan di istana”.
Menurut Pararaton, pengusiran pasukan Mongol dan berdirinya Kerajaan Majapahit terjadi pada tahun 1294. Sedangkan menurut kronik Cina dari dinasti Yuan, pasukan yang dipimpin oleh Ike Mese itu meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293. Naskah Nagarakretagama juga menyebut angka tahun 1293. Sehingga, jika berita-berita di atas dipadukan, maka kedatangan Kebo Anabrang dan Dara Petak dapat diperkirakan terjadi pada tanggal 4 Mei 1293, dan kelahiran Jayanagara terjadi dalam tahun 1294.
Nama Dara Petak tidak dijumpai dalam Nagarakretagama dan prasasti-prasasti peninggalan Majapahit. Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya bukan hanya menikahi dua, tetapi empat orang putri Kertanagara, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan Jayanagara dilahirkan dari istri yang bernama Indreswari. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Indreswari adalah nama lain Dara
Naik Takhta
Nagarakretagama menyebutkan Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama Jayanagara juga muncul dalam prasasti Penanggungan tahun 1296 sebagai putra mahkota. Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara Petak pada tahun 1293, maka Jayanagara dapat dipastikan masih sangat kecil ketika diangkat sebagai raja muda. Tentu saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui pula bahwa Jayanagara adalah nama asli sejak kecil atau garbhopati, bukan nama gelar atau abhiseka. Sementara nama Kalagemet yang diperkenalkan Pararaton jelas bernada ejekan, karena nama tersebut bermakna “jahat” dan “lemah”.
Jayanagara naik takhta menjadi raja Majapahit menggantikan ayahnya yang menurut Nagarakretagama meninggal dunia tahun 1309.
Kematian Jayanagara
Pararaton mengisahkan Jayanagara dilanda rasa takut kehilangan takhtanya. Ia pun melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat menikah karena khawatir iparnya bisa menjadi saingan. Bahkan muncul desas-desus kalau kedua putri yang lahir dari Gayatri itu hendak dinikahi oleh Jayanagara sendiri.
Desas-desus itu disampaikan Ra Tanca kepada Gajah Mada yang saat itu sudah menjadi abdi kesayangan Jayanagara. Ra Tanca juga menceritakan tentang istrinya yang diganggu oleh Jayanagara. Namun Gajah Mada seolah tidak peduli pada laporan tersebut.
Ra Tanca adalah tabib istana. Suatu hari ia dipanggil untuk mengobati sakit bisul Jayanagara. Dalam kesempatan itu Tanca berhasil membunuh Jayanagara di atas tempat tidur. Gajah Mada yang menunggui jalannya pengobatan segera menghukum mati Tanca di tempat itu juga, tanpa proses pengadilan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1328. Menurut Pararaton Jayanagara didharmakan dalam candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan. Sedangkan menurut Nagarakretagama ia dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanagara juga dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amogasidi.
Jayanagara meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. Oleh karena itu takhta Majapahit kemudian jatuh kepada adiknya, yaitu Dyah Gitarja yang bergelar Tribhuwana Tunggadewi
C. Tribhuwana Wijayatunggadewi
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Pemerintahan Tribhuwana
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.
Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya, Adityawarman.
Peristiwa penting berikutnya dalam Pararaton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit.
Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.
Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini kurang tepat karena menurut prasasti Singasari, pada tahun 1351 Tribhuwana masih menjadi raja Majapahit.
Akhir Hayat Tribhuwana
Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan prasasti Singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.
Tidak diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371.
Menurut Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan.
D. Hayam Wuruk
Dyah Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1351-1389, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Majapahit mencapai zaman kejayaannya.
Silsilah Hayam Wuruk
Nama Hayam Wuruk artinya “ayam yang terpelajar”. Ia adalah putra pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara. Ibunya adalah putri Raden Wijaya pendiri Majapahit, sedangkan ayahnya adalah raja bawahan di Singhasari bergelar Bhre Tumapel.
Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja alias Bhre Pajang, dan adik angkat bernama Indudewi alias Bhre Lasem, yaitu putri Rajadewi, adik ibunya.
Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Padukasori putri Wijayarajasa Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.
Masa pemerintahan Hayam Wuruk
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru (kemudian bernama Deli, dekat Medan sekarang). Majapahit juga menghancurkan Palembang, sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya (1377).
Peristiwa Bubat
Tahun 1351, Hayam Wuruk hendak menikahi puteri Raja sunda (di Jawa Barat), Diah Pitaloka Citrasemi. Pajajaran setuju asal bukan maksud Majapahit untuk mencaplok Pajajaran. Ketika dalam perjalanan menuju upacara pernikahan, Gajah Mada mendesak Pajajaran untuk menyerahkan puteri sebagai upeti dan tunduk kepada Majapahit. Pajajaran menolak, akhirnya pecah pertempuran, Perang Bubat. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan Pajajaran tewas, dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit.
“Kecelakaan sejarah” ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian
Suksesor
Tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal dengan dua anak: Kusumawardhani (yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari selirnya. Namun yang menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya, Wikramawardhana.
E. Wikramawardhana
Wikramawardhana adalah raja kelima Majapahit yang memerintah berdampingan dengan istri sekaligus sepupunya, yaitu Kusumawardhani putri Hayam Wuruk, pada tahun 1389-1427.
Silsilah Wikramawardhana dan Kusumawardhani
Wikramawardhana dalam Pararaton bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Nama aslinya adalah Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana.
Permaisurinya, yaitu Kusumawardhani adalah putri Hayam Wuruk yang lahir dari Padukasori. Dalam Nagarakretagama (ditulis 1365), Kusumawardhani dan Wikramawardhana diberitakan sudah menikah. Padahal waktu itu Hayam Wuruk baru berusia 31 tahun. Maka, dapat dipastikan kalau kedua sepupu tersebut telah dijodohkan sejak kecil.
Dari perkawinan itu, lahir putra mahkota bernama Rajasakusuma bergelar Hyang Wekasing Sukha, yang meninggal sebelum sempat menjadi raja.
Pararaton juga menyebutkan, Wikramawardhana memiliki tiga orang anak dari selir, yaitu Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya.Bhre Tumapel lahir dari Bhre Mataram, putri Bhre Pandansalas. Ia menggantikan Rajasakusuma sebagai putra mahkota, tetapi juga meninggal sebelum sempat menjadi raja.Kedudukan sebagai pewaris takhta kemudian dijabat oleh Suhita yang lahir dari Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi.
Awal Pemerintahan Wikramawardhana dan Kusumawardhani
Saat Nagarakretagama ditulis tahun 1365, Kusumawardhani masih menjadi putri mahkota sekaligus Bhre Kabalan. Sedangkan Wikramawardhana menjabat Bhre Mataram dan mengurusi masalah perdata.
Menurut Pararaton, sepeninggal Hayam Wuruk tahun 1389, Kusumawardhani dan Wikramawardhana naik takhta dan memerintah berdampingan. Jabatan Bhre Mataram lalu dipegang oleh selir Wikramawardhana, yaitu putri Bhre Pandansalas alias Ranamanggala. Ibu Bhre Mataram adalah adik Wikramawardhana sendiri yang bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan. Jadi, Wikramawardhana menikahi keponakannya sendiri sebagai selir.
Raja sakusuma sang putra mahkota diperkirakan mewarisi jabatan Bhre Kabalan menggantikan ibunya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton. Pada tahun 1398 Rajasakusuma mengangkat Gajah Menguri sebagai patih menggantikan Gajah Enggon yang meninggal dunia. Berita dalam Pararaton ini harus ditafsirkan sebagai “mengusulkan”, bukan “melantik”. Akhir Pemerintahan Wikramawardhana
Perang Paregreg membawa kerugian besar bagi Majapahit. Banyak daerah-daerah bawahan di luar Jawa melepaskan diri ketika istana barat dan timur sibuk berperang.
Wikramawardhana juga berhutang ganti rugi pada kaisar Dinasti Ming penguasa Cina. Ketika terjadi penyerbuan ke timur, sebanyak 170 orang anak buah Laksamana Ceng Ho ikut terbunuh. Padahal waktu itu Ceng Ho sedang menjadi duta besar mengunjungi Jawa.
Menurut kronik Cina tulisan Ma Huan (sekretaris Ceng Ho), Wikramawardhana diwajibkan membayar denda pada kaisar sebesar 60.000 tahil. Sampai tahun 1408 baru bisa diangsur 10.000 tahil saja. Akhirnya, kaisar membebaskan hutang tersebut karena kasihan.
Pada tahun 1426 terjadi bencana kelaparan melanda Majapahit. Bhre Tumapel sang putra mahkota meninggal dunia tahun 1427. Candi makamnya di Lokerep bernama Asmarasaba. Disusul kemudian kematian istri dan putra Bhre Tumapel, yaitu Bhre Lasem dan Bhre Wengker.
Wikramawardhana akhirnya meninggal pula akhir tahun 1427. Ia dicandikan di Wisesapura yang terletak di Bayalangu.Rajasakusuma meninggal tahun 1399. Candi makamnya bernama Paramasuka Pura di Tanjung. Kedudukan putra mahkota lalu dijabat Bhre Tumapel putra Wikramawardhana dan Bhre Mataram.
Pada tahun 1400 Wikramawardhana turun takhta untuk hidup sebagai pendeta. Kusumawardhani pun memerintah secara penuh di Majapahit.
Peninggalan sejarah Wikramawardhana berupa prasasti Katiden (1395), yang berisi penetapan Gunung Lejar sebagai tempat pendirian sebuah bangunan suci.
F. Suhita
Prabu Stri Suhita adalah raja wanita Majapahit yang memerintah tahun 1427-1447, bersama suaminya yang bernama Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja.
Pemerintahan Suhita
Suhita memerintah berdampingan dengan Ratnapangkaja bergelar Bhatara Parameswara. Pada tahun 1433 Suhita membalas kematian Bhre Wirabhumi dengan cara menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati. Dari berita ini terasa masuk akal kalau hubungan Bhre Wirabhumi dan Suhita adalah kakek dan cucu, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton.
Nama Suhita juga muncul dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong sebagai Su-king-ta, yaitu raja Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin masyarakat Cina di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng Cu ini identik dengan Arya Teja, kakek Sunan Kalijaga.
Pada tahun 1437 Bhatara Parameswara Ratnapangkaja meninggal dunia. Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1447 Suhita meninggal pula. Pasangan suami istri itu dicandikan bersama di Singhajaya.
Karena tidak memiliki putra mahkota, Suhita digantikan adiknya, yaitu Dyah Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.
G. Kertawijaya
Dyah Kertawijaya adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1447-1451 dengan gelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana. Menurut Pararaton, Kertawijaya adalah putra Wikramawardhana dari selir. Putra Wikramawardhana yang lain adalah Hyang Wekasing Sukha, Bhre Tumapel, dan Suhita. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah menjadi Bhre Tumapel, yaitu menggantikan kakaknya yang meninggal awal tahun 1427.
Kertawijaya naik takhta menggantikan Suhita tahun 1447. Pada masa pemerintahannya sering terjadi gempa bumi dan gunung meletus. Juga terjadi peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel.
Kertawijaya wafat tahun 1451. Ia dicandikan di Kertawijayapura. Kedudukannya sebagai raja digantikan Rajasawardhana
Hubungan antara Rajasawardhana dengan Kertawijaya tidak disebut secara tegas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat yang mengatakan kalau Rajasawardhana naik takhta setelah membunuh Kertawijaya. Pendapat lain mengatakan Rajasawardhana adalah putra Kertawijaya yang nama aslinya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu sebagai Dyah Wijayakumara.
H. Brawijaya
Prabu Brawijaya (lahir: ? – wafat: 1478) atau kadang disebut Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, yang memerintah sampai tahun 1478. Tokoh ini diperkirakan sebagai tokoh fiksi namun sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton. Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.
Kisah hidup
Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya[rujukan?] yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga anak tiri Arya Damar.[rujukan?]
Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Campa. Patihnya bernama Gajah Mada. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.
Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan.
Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:
Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
Prabu Brakumara
Prabu Brawijaya I
Ratu Ayu Kencanawungu
Prabu Brawijaya II
Prabu Brawijaya III
Prabu Brawijaya IV
dan terakhir, Prabu Brawijaya V
Baik itu pemerintahan Brawijaya ataupun Brawijaya V sama-sama dikisahkan berakhir akibat serangan putranya sendiri yang bernama Raden Patah pada tahun 1478. Raden Patah kemudian menjadi raja pertama Kesultanan Demak, bergelar Panembahan Jimbun
Asal usul nama
Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut.
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna “baginda”. Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna “baginda di”. Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.
Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara. Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.
Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.
Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawasebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit identik dengan daerah Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun “ditempatkan” sebagai raja yang memerintah di sana, bukan di Daha.
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan masyarakat Jawa berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui masih mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Rupanya para pujangga penulis naskah babad dan serat tidak mengetahui kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan Majapahit berpindah dari Trowulan menuju Daha.
Bhre Kertabhumi dalam Pararaton
Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis:
Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400.
Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan ambigu.[rujukan?] Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.
Teori yang cukup populer[rujukan?] menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah kronik Cina dari kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.
Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik[rujukan?] dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat.
[sunting] Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina
Naskah kronik Cina yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang.
Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.
Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah.
Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad dan serat.
Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru.
Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Cina tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Cina.
Teori keruntuhan Majapahit
Peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan, Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, namun sering diceritakan dalam berbagai versi, antara lain:
Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak Bintara. Konon Brawijaya kemudian masuk Islam melalui Sunan Kalijaga. Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan diri ke Pulau Bali. Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan serat ini uraiannya terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun sangat populer dalam masyarakat Jawa.
Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Raden Patah. Setelah itu Majapahit menjadi bawahan Kesultanan Demak. Teori ini muncul berdasarkan ditemukannya kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang.
Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan pernah terjadi peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit.
Raja terakhir adalah Bhre Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak Sang Sinagara. Teori ini muncul karena Pararaton tidak menyebutkan secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan raja terakhir Majapahit atau bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga terkesan ambigu, apakah yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka (1468 Masehi) adalah Bhre Pandansalas, ataukah anak-anak Sang Sinagara. Teori yang menyebut Bhre Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan kalau pada tahun 1478, anak-anak Sang Sinagara kembali untuk menyerang Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Bhre Pandansalas mati dibunuh oleh Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya pada tahun 1478.
Pemakaian nama Brawijaya
Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di daerah Jawa Timur.
Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya. Juga terdapat Stadion Brawijaya dan Museum Brawijaya di kota yang sama. Di samping itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah Jawa Timur dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya.
Kepustakaan
Andjar Any. 1989. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu
Babad Majapahit dan Para Wali (Jilid 3). 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Babad Tanah Jawi. 2007. (terjemahan). Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKISBabad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Gambaran Peta Kota Kerajaan Majapahit
Kakawin Nagarakretagama, pupuh VIII-XII, merupakan sumber
tertulis yang penting untuk mengetahui gambaran Kota Majapahit sekitar
tahun 1350 M. Kota pada masa itu bukanlah kota dalam arti modern,
demikian pernyataan Pigeaud (1962), ahli sejarah kebangsaan Belanda,
dalam kajiannya terhadap Nagarakretagama karya Prapanca. Ia
menyimpulkan, Majapahit bukan kota yang dikelilingi tembok, melainkan
sebuah komplek permukiman besar yang meliputi sejumlah komplek yang
lebih kecil, di mana satu sama lain dipisahkan oleh lapangan terbuka.
Tanah-tanah lapang digunakan untuk kepentingan publik, seperti pasar
dan tempat-tempat pertemuan.
Tembok batu merah tebal lagi tinggi mengitari keraton. Itulah benteng Keraton Majapahit. Pintu besar di sebelah barat yang disebut "Purawuktra" menghadap ke lapangan luas. Di tengah lapangan itu mengalir parit yang mengelilingi lapangan. Di tepi benteng "Brahmastana”, berderet-deret memanjang dan berbagai-bagai bentuknya. Di situlah tempat tunggu para perwira yang sedang meronda menjaga Paseban.
Sketsa rekonstruksi Kota Majapahit oleh Maclaine Pont (1924) berdasarkan Nagarakretagama dan hasil penggalian.
Itulah salah satu cuplikan dari Nagarakretagama yang menggambarkan salah satu bagian dari ibu kota Majapahit seperti yang digambarkan oleh Prapanca. Di mana reruntuhannya? Sebagian besar para pakar arkeologi memercayai dan menempatkannya di Trowulan. Mengapa Trowulan? Hal ini bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Wardenaar atas perintah Raffles pada 1815 untuk mengamati tinggalan arkeologi di daerah Mojokerto. Dalam laporannya ia selalu menyebutkan, “in het bosch van Majapahit” untuk tinggalan budaya yang ditemukan di Mojokerto, khususnya Trowulan.
Raffles sendiri dalam bukunya History of Java menyebutkan “remains of gateway at Majapahit called Gapura Jati Pasar” ketika menyebut Candi Waringin Lawang, dan menyebut “one of the gateway of Majapahit” ketika menyebut Candi Brahu. Anggapan-anggapan tersebut kemudian diyakinkan lagi oleh Maclains Pont, seorang arsitek Belanda, yang menggali hampir seluruh penjuru Trowulan. Hasilnya berupa sejumlah besar pondasi bangunan, saluran air yang tertutup dan terbuka, serta waduk-waduk.
Uraian Nagarakretagama tentang Kota Majapahit telah dicari lokasinya di lapangan oleh Maclains Pont dari tahun 1924-1926. Ia berhasil membuat sketsa “kota” Majapahit di Situs Trowulan. Benteng kota Majapahit digambarkan dalam bentuk jaringan jalan dan tembok keliling yang membentuk blok-blok empat persegi. Secara makro, bentuk Kota Majapahit menyerupai bentuk mandala candi berdenah segi empat dan terdapat gapura masuk di keempat sisinya, sedangkan keraton terletak di tengah-tengah. Selain itu terdapat kediaman para prajurit dan punggawa, pejabat pemerintah pusat, para menteri, pemimpin keagamaan, para kesatria, paseban, lapangan Bubat, kolam segaran, tempat pemandian, dan lain-lain.
Situs Trowulan sendiri berada dalam wilayah Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sekitar 70 km ke arah barat daya dari Surabaya. Dalam areal seluas 9 x 11 km itu dapat dilihat bangunan-bangunan bata berupa candi, gapura, kolam, dan salurah-saluran air di muka tanah maupun di bawah tanah, yang seluruhnya mengindikasikan sebuah kota yang sudah cukup maju untuk masa itu.
Mengenai seberapa luas kota Majapahit dan dimana batas-batasnya, menurut penelitian terakhir berdasarkan temuan yoni, adalah di sebelah barat daya Trowulan, di Labak Jabung, sebelah tenggara Trowulan, dan Klinterejo di sebelah timur laut Trowulan. Sedangkan titik ke empat mestinya di Dusun Tugu dan Bodas di Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang. Dengan ditemukannya situs arkeologi pada titik keempat, dapat dihitung luas bidang dari keempat titik, sehingga diperkirakan luas bidang Kota Majapahit sekitar 11 x 9 km, yang memanjang utara-selatan.
Pada tahun 1981 keberadaan kanal-kanal dan waduk-waduk di Situs Trowulan semakin pasti diketahui melalui studi foto udara yang ditunjang oleh pengamatan di lapangan dengan pendugaan geoelektrik dan geomagnetik. Dari hasil penelitian kerja sama Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dengan Ditlinbinjarah, UGM, ITB, dan Lapan, diketahui bahwa Situs Trowulan berada di ujung kipas aluvial vulkanik yang sangat luas, memiliki permukaan tanah yang landai dan baik sekali bagi tata guna tanah (Karina Arifin, 1983). Waduk-waduk Baureno, Kumitir, Domas, Kraton, Kedungwulan, Temon, dan kolam-kolam buatan seperti Segaran, Balong Dowo, dan Balong Bunder, yang semuanya terdapat di Situs Trowulan, letaknya dekat dengan pangkal kipas aluvial Jatirejo.
Melalui pengamatan foto udara inframerah, ternyata di Situs Trowulan dan sekitarnya terlihat adanya jalur-jalur yang berpotongan tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan timur-barat. Jalur-jalur yang membujur timur-barat terdiri atas 8 jalur, sedangkan jalur-jalur yang melintang utara-selatan terdiri atas 6 jalur. Selain jalur-jalur yang bersilangan tegak lurus, ditemukan pula dua jalur yang agak menyerong. "Berdasarkan uji lapangan pada jalur-jalur dari foto udara, ternyata jalur-jalur tersebut adalah kanal-kanal, sebagian masih ditemukan tembok penguat tepi kanal dari susunan bata," ujar Karina Arifin.
Lebar kanal-kanal berkisar 35-45 meter. Kanal yang terpendek panjangnya 146 meter, yaitu jalur yang melintang utara-selatan yang terletak di daerah Pesantren, sedangkan kanal yang terpanjang adalah kanal yang berhulu di sebelah timur di daerah Candi Tikus dan berakhir di Kali Gunting (di Dukuh Pandean) di daerah baratnya. Kanal ini panjangnya sekitar 5 kilometer. Hal yang menarik, sebagian besar situs-situs di Trowulan dikelilingi oleh kanal-kanal yang saling berpotongan, membentuk sebuah denah segi empat yang luas, dibagi lagi oleh beberapa bidang segi empat yang lebih kecil.
Istana dan Raja
Berita Cina yang ditulis oleh Ma Huan sewaktu mengikuti perjalanan Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke Jawa memberikan penjelasan mengenai keadaan masyarakat Majapahit pada abad XV. Antara lain, bahwa kota Majapahit terletak di pedalaman Jawa. Istana raja dikelilingi tembok tinggi lebih dari 3 zhang, pada salah satu sisinya terdapat “pintu gerbang yang berat” (mungkin terbuat dari logam). Tinggi atap bangunan antara 4-5 zhang, gentengnya terbuat dari papan kayu yang bercelah-celah (sirap).
Raja Majapahit tinggal di istana, kadang-kadang tanpa mahkota, tetapi sering kali memakai mahkota yang terbuat dari emas dan berhias kembang emas. Raja memakai kain dan selendang tanpa alas kaki, dan ke mana pun pergi selalu memakai satu atau dua bilah keris. Apabila raja keluar istana, biasanya menaiki gajah atau kereta yang ditarik lembu. Penduduk Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Penduduk memakai kain dan baju, kaum lelaki berambut panjang dan terurai, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap anak laki-laki selalu membawa keris yang terbuat dari emas, cula badak, atau gading
Tata Kota
Kerajaan Majapahit, selain mempunyai ibu kota sebagai pusat pemerintahan dan tempat kedudukan raja serta para pejabat kerajaan, juga merupakan pusat magis bagi seluruh kerajaan. Ditinjau dari konsep kosmologi, wujud ibu kota Majapahit dianggap sebagai perwujudan jagad raya, sedangkan raja identik dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Gunung Mahameru (Semeru).
Keberadaan Kota Majapahit menurut konsep tersebut memiliki tiga unsur, yaitu:
1. unsur gunung (replikanya dibentuk candi),
2. unsur sungai (replikannya dibentuk kanal),
3. unsur laut (replikanya dibentuk waduk).
Nagarakretagama menyebutkan bahwa susunan bangunan di istana meliputi tempat tinggal raja dan keluarganya, lapangan manguntur, pemukiman para pendeta, dan rumah-rumah jaga pegawai kerajaan. Rumah di dalam istana indah, bagus, dan kuat. Ibu kota Majapahit dikelilingi oleh raja-raja daerah dan kota-kota lain. Di sekitar istana tempat kedudukan raja terdapat tempat-tempat kedudukan raja-raja daerah (paduka bhatara) serta para pajabat/pembesar kerajaan.
Pupuh VIII
1. Tersebut keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat
bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon
brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah
tempat tunggu para tanda, terus menerus meronda menjaga paseban.
2. Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah timur: panggung luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat. Di bagian utara, di selatan pecan, rumah berjejal jauh memanjang, sangat indah. Di Selatan jalan perempat: balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra.
3. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang
watangan. Yang meluas ke empat arah; bagian utara paseban pujangga dan menteri.
Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buddha, yang bertugas membahas upacara.
Pada masa gerhana bulan Palguna, demi keselamatan seluruh dunia.
4. Di sebelah timur, pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di selatan
tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat, menghadap panggung korban. Bertegak
di halaman sebelah barat; di utara tempat Buddha bersusun tiga. Puncaknya penuh
berukir; berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.
5. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah
bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di
sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengah-
tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.
6. Di dalam, di selatan, ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua.
Dibuat bertingkat-tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri. Semua
balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih
berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.
Pupuh XII
1. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng. Timur tempat tinggal
pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja. Selatan Buddha-sangga dengan
Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat para arya, menteri, dan sanak-kadang
adiraja.
2. Di timur tersekat lapangan, menjulang istana ajaib. Raja Wengker dan rani Daha
penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani
Lasem. Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta.
3. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ menetap patih Daha,
adinda Sri Paduka di Wengker. Batara Narpati, termashur sebagai tulang punggung
praja. Cinta-taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.
4. Di timur laut, rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada. Menteri wira, bijaksana,
setia bakti kepada negara. Fasih bicara, teguh tangkas, tenang, tegas, cerdik, lagi
jujur. Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara.
5. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah timur perumahan
Siwa, sebelah barat Buddha. Terlangkahi rumah para menteri, para arya, dan satria.
Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura.
6. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang. Menandingi bulan
dan matahari, indah tanpa upama. Negara-negara di Nusantara dengan Daha bagai
pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.
Sistem Perairan Masa Majapahit
Bangunan air yang ditemukan di masa Majapahit adalah waduk, kanal, kolam, dan saluran air, yang sampai sekarang masih ditemukan sisa-sisanya. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa pemerintah Majapahit membuat bangunan air tersebut untuk kepentingan irigasi pertanian dan sarana mengalirkan air sungai ke waduk: penampungan dan penyimpanan air, serta pengendali banjir.
Hasil penelitian membuktikan terdapat sekitar 20 waduk kuno yang tersebar di dataran sebelah utara daerah Gunung Anjasmoro, Welirang, dan Arjuno. Waduk Baureno, Kumitir, Domas, Temon, Kraton, dan Kedung Wulan adalah waduk-waduk yang berhubungan dengan Kota Majapahit yang letaknya di antara Kali Gunting di sebelah barat dengan Kali Brangkal di sebelah timur. Hanya waduk Kedung Wulan yang tidak ditemukan lagi sisa-sisa bangunannya, baik dari foto udara maupun di lapangan.
Waduk Baureo adalah waduk terbesar yang terletak 0,5 km dari pertemuan Kali Boro dengan Kali Landean. Bendungannya dikenal dengan sebutan Candi Lima. Tidak jauh dari Candi Lima, gabungan sungai tersebut bersatu dengan Kali Pikatan, membentuk Kali Brangkal. Bekas waduk ini sekarang merupakan cekungan alamiah yang ukurannya besar dan dialiri oleh beberapa sungai. Seperti halnya Waduk Baureno, waduk-waduk lainnya sekarang telah rusak dan yang terlihat hanya berupa cekungan alamiah, misalnya Waduk Domas yang terletak di utara Waduk Baureno; Waduk Kumitir (Rawa Kumitir) yang terletak di sebelah barat Waduk Baureno; Waduk Kraton yang terletak di utara Gapura Bajangratu; dan Waduk Temon yang terletak di selatan Waduk Kraton dan di barat daya Waduk Kumitir.
Di samping waduk-waduk tersebut, di Trowulan terdapat tiga kolam buatan yang letaknya berdekatan, yaitu Segaran, Balong Bunder, dan Balong Dowo. Kolam Segaran memperoleh air dari saluran yang berasal dari Waduk Kraton. Balong Bunder sekarang merupakan rawa yang terletak 250 meter di sebelah selatan Kolam Segaran. Balong Dowo juga merupakan rawa yang terletak 125 meter di sebelah barat daya Kolam Segaran. Hanya Kolam Segaran yang diperkuat dengan dinding-dinding tebal di keempat sisinya, sehingga terlihat merupakan bangunan air paling monumental di Kota Majapahit.
Kolam Segaran pertama kali ditemukan oleh Maclaine Pont pada 1926. Kolam ini berukuran panjang 375 meter dan lebar 175 meter dan dalamnya sekitar 3 meter, membujur arah timurlaut–baratdaya. Dindingnya dibuat dari bata yang direkatkan tanpa bahan perekat. Ketebalan dinding 1,60 meter. Di sisi tenggara terdapat saluran masuk, sedangkan di sisi barat laut terdapat saluran keluar menuju ke Balong Dowo dan Balong Bunder.
Foto udara yang dibuat pada tahun 1970-an di wilayah Trowulan dan sekitarnya memperlihatkan dengan jelas adanya kanal-kanal berupa jalur-jalur yang bersilangan saling tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan barat-timur. Juga terdapat jalur-jalur yang agak menyerong dengan lebar bervariasi, antara 35-45 m atau hanya 12 m, dan bahkan 94 m yang kemungkinan disebabkan oleh aktivitas penduduk masa kini.
Kanal-kanal di daerah pemukiman, berdasarkan pengeboran yang pernah dilakukan, memperlihatkan adanya lapisan sedimentasi sedalam 4 m; dan pernah ditemukan susunan bata setinggi 2,5 meter yang memberi kesan bahwa dahulu kanal-kanal tersebut diberi tanggul, seperti di tepi kanal yang terletak di daerah Kedaton yang lebarnya 26 meter diberi tanggul. Kanal-kanal itu ada yang ujungnya, berakhir di Waduk Temon dan Kali Gunting; dan sekurang-kurangnya tiga kanal berakhir di Kali Kepiting, di selatan Kota Majapahit. Kanal-kanal yang cukup lebar menimbulkan dugaan bahwa fungsinya bukan sekadar untuk mengairi sawah (irigasi), tetapi mungkin juga untuk sarana transportasi yang dapat dilalui oleh perahu kecil.
Kanal, waduk, dan kolam buatan ini didukung pula oleh saluran-saluran air yang lebih kecil, yang merupakan bagian dari sistem jaringan air di Majapahit. Di wilayah Trowulan, gorong-gorong yang dibangun dari bata sering ditemukan dengan ukurannya cukup besar, yang memungkinkan orang dewasa untuk masuk ke dalamnya. Candi Tikus yang merupakan pemandian (petirtaan) misalnya, mempunyai gorong-gorong yang besar untuk menyalurkan airnya ke dalam dan ke luar candi. Selain gorong-gorong atau saluran bawah tanah, banyak pula ditemukan saluran terbuka untuk mengairi sawah-sawah, serta temuan pipa-pipa terakota yang kemungkinan besar digunakan untuk menyalurkan air ke rumah-rumah, serta selokan-selokan dari susunan bata di antara sisa-sisa rumah-rumah kuno. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat Majapahit telah mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap sanitasi dan pengendalian air.
Melihat banyak dan besarnya bangunan-bangunan air, dapat diperkirakan bahwa pembangunan dan pemeliharaannya membutuhkan suatu sistem organisasi yang teratur. Hal ini terbukti dari pengetahuan dana teknologi yang mereka miliki, yang memungkinkan mereka mampu mengendalikan banjir dan menjadikan pusat kota terlindungi serta aman dihuni.
Sampai sekarang, baik dari prasasti maupun naskah kuno, tidak diperoleh keterangan mengenai kapan waduk dan kanal-kanal tersebut dibangun serta berapa lama berfungsinya. Rusaknya bangunan-bangunan air tersebut mungkin diawali oleh letusan Gunung Anjasmoro tahun 1451, yang membawa lapisan lahar tebal yang membobol Waduk Baureno dan merusak sistem jaringan air yang ada. Candi Tikus yang letaknya di antara Waduk Kumitir dan Waduk Kraton bahkan seluruhnya pernah tertutup oleh lahar.
Keadaan kerajaan yang kacau karena perebutan kekuasaan ditambah dengana munculnya kekuasaan baru di daerah pesisir, mengakibatkan kerusakan bangunan air tidak dapat diperbaiki seperti sediakala. Erosi dan banjir yang terus menerus mengakibatkan daerah ini tidak layak huni dan perlahan-lahan ditinggalkan oleh penghuninya.
Kota-kota Besar Kerajaan
Perkampungan dan Dusun
Tidak diketahui secara pasti bagaimana bentuk rumah tradisional peninggalan Kerajaan Majapahit yang sesungguhnya. Dari sejumlah artefak yang ditemukan yang berkaitan dengan okupasi kerajaan, sulit rasanya untuk memberikan contoh baku prototipe rumah zaman Majapahit. Namun, ada segopok artefak dari tanah liat bakar berupa miniatur rumah dan temuan struktur bangunan yang diduga sebagai tipikal rumah Majapahit.
Ekskavasi di Trowulan tahun 1995 menunjukkan adanya struktur bangunan berupa kaki dari tanah yang diperkuat dengan susunan batu yang berspesi tanah setebal 1 cm, membentuk sebuah batur rumah. Denah batur berbentuk empat persegi panjang, dengan ukuran 5,20 x 2,15 meter dan tinggi sekitar 60 cm. Di sisi utara terdapat sebuah struktur tangga bata yang terdiri dari 3 anak tangga. Dari keberadaan dan tata letak tangga, dapat disimpulkan bahwa rumah ini menghadap ke utara dengan deviasi sekitar 90 55 derajat ke timur, seperti juga orientasi hampir dari semua arah struktur bangunan yang ada di Situs Trowulan.
Pada kedua sisi kaki bangunan terdapat selokan terbuka selebar 8 cm dan dalam 10 cm. Depan kaki bangunan selokan itu mengikuti bentuk denah bangunan tangga. Selokan tersebut dibangun dari satuan-satuan bata sehingga struktur selokan lebih kuat, dan airnya bisa mengalir lebih cepat. Di sekitar kaki bangunan ditemukan lebih dari 200 pecahan genteng dan 70 pecahan bubungan dan kemuncak, serta ukel (hiasan dari terakota yang ditempatkan di bawah jurai atap bangunan).
Struktur halaman bangunannya amat menarik dan unik. Tanah halaman ditutup dengan struktur yang berkotak-kotak, dan masing-masing kotak dibatasi dengan bata yang dipasang rebah di keempat sisinya, dan di dalam kotak berbingkai bata tersebut dipasang batu-batu bulat memenuhi seluruh bidang. Tutupan semacam ini berfungsi untuk menghindari bila halaman menjadi becek ketika hujan turun. Belum pernah ditemukan penutup halaman yang semacam ini, kecuali yang agak serupa ditemukan di selatan situs Segaran II.
Dari temuan itu dapat diasumsikan bahwa tubuh bangunan didirikan di atas batur setinggi 60 cm. Kemungkinan bangunan dibuat dari kayu (papan) dan bukan dari bata karena di sekitar areal bangunan tidak ditemukan bata dalam jumlah yang besar sesuai dengan volume bangunannya. Mungkin tubuh bangunan dibuat dari kayu (papan) atau anyaman bambu jenis gedek atau bilik. Tiang-tiang kayu penyangga atap tentunya sudah hancur, agaknya tidak dilandasi oleh umpak-umpak batu yang justru banyak ditemukan di Situs Trowulan, karena tak ada satu pun umpak yang ditemukan di sekitar bangunan.
Tiang-tiang rumah mungkin diletakkan langsung pada lantai yang melapisi permukaan batur. Atap bangunan diperkirakan memunyai sudut kemiringan antara 35-60 derajat, ditutup dengan susunan genteng berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 24 x 13 x 0,9 cm dengan jumlah sekitar 800 -1.000 keping genteng yang menutupinya. Bagian atas atap dilengkapi dengan bubungan dan kemuncak, serta pada ujung-ujung jurainya dipasang hiasan ukel.
Rekonstruksi bangunan rumah yang didasarkan atas bukti yang ditemukan di situs tersebut, dapat dilengkapi melalui perbandingan dengan bentuk-bentuk rumah beserta unsur-unsurnya yang dapat kita lihat wujudnya dalam: (1) artefak sezaman seperti pada relief candi, model-model bangunan yang dibuat dari terakota, jenis-jenis penutup atap berbentuk genteng, sirap, bambu, ijuk; (2) rumah-rumah sederhana milik penduduk sekarang di Trowulan; dan (3) rumah-rumah di Bali.
Lepas dari status sosial penghuni rumah ini, ada hal lain yang menarik, yaitu penduduk Majapahit di Trowulan, atau setidak-tidaknya penghuni rumah ini, telah menggabungkan antara segi fungsi dengan estetika. Halaman rumah ditata sedemikian rupa untuk menghindari genangan air dengan cara diperkeras dengan krakal bulat dalam bingkai bata. Di sekeliling bangunan terdapat selokan terbuka yang bagian dasarnya berlapis bata untuk mengalirkan air dari halaman. Dilengkapi pula dengan sebuah jambangan air dari terakota yang besar dan kendi berhias, yang memberikan kesan sebuah halaman rumah yang tertata apik. Di sebelah timur terdapat beberapa struktur bata yang belum berhasil diidentifikasi. Mungkin rumah yang ukurannya relatif kecil ini hanya merupakan salah satu komplek. Bangunan yang berada dalam satu halaman seluas 200-an meter persegi tersebut dikelilingi oleh pagar seperti yang dapat kita saksikan di Bali sekarang.
Tembok batu merah tebal lagi tinggi mengitari keraton. Itulah benteng Keraton Majapahit. Pintu besar di sebelah barat yang disebut "Purawuktra" menghadap ke lapangan luas. Di tengah lapangan itu mengalir parit yang mengelilingi lapangan. Di tepi benteng "Brahmastana”, berderet-deret memanjang dan berbagai-bagai bentuknya. Di situlah tempat tunggu para perwira yang sedang meronda menjaga Paseban.
Sketsa rekonstruksi Kota Majapahit oleh Maclaine Pont (1924) berdasarkan Nagarakretagama dan hasil penggalian.
Itulah salah satu cuplikan dari Nagarakretagama yang menggambarkan salah satu bagian dari ibu kota Majapahit seperti yang digambarkan oleh Prapanca. Di mana reruntuhannya? Sebagian besar para pakar arkeologi memercayai dan menempatkannya di Trowulan. Mengapa Trowulan? Hal ini bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Wardenaar atas perintah Raffles pada 1815 untuk mengamati tinggalan arkeologi di daerah Mojokerto. Dalam laporannya ia selalu menyebutkan, “in het bosch van Majapahit” untuk tinggalan budaya yang ditemukan di Mojokerto, khususnya Trowulan.
Raffles sendiri dalam bukunya History of Java menyebutkan “remains of gateway at Majapahit called Gapura Jati Pasar” ketika menyebut Candi Waringin Lawang, dan menyebut “one of the gateway of Majapahit” ketika menyebut Candi Brahu. Anggapan-anggapan tersebut kemudian diyakinkan lagi oleh Maclains Pont, seorang arsitek Belanda, yang menggali hampir seluruh penjuru Trowulan. Hasilnya berupa sejumlah besar pondasi bangunan, saluran air yang tertutup dan terbuka, serta waduk-waduk.
Uraian Nagarakretagama tentang Kota Majapahit telah dicari lokasinya di lapangan oleh Maclains Pont dari tahun 1924-1926. Ia berhasil membuat sketsa “kota” Majapahit di Situs Trowulan. Benteng kota Majapahit digambarkan dalam bentuk jaringan jalan dan tembok keliling yang membentuk blok-blok empat persegi. Secara makro, bentuk Kota Majapahit menyerupai bentuk mandala candi berdenah segi empat dan terdapat gapura masuk di keempat sisinya, sedangkan keraton terletak di tengah-tengah. Selain itu terdapat kediaman para prajurit dan punggawa, pejabat pemerintah pusat, para menteri, pemimpin keagamaan, para kesatria, paseban, lapangan Bubat, kolam segaran, tempat pemandian, dan lain-lain.
Situs Trowulan sendiri berada dalam wilayah Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sekitar 70 km ke arah barat daya dari Surabaya. Dalam areal seluas 9 x 11 km itu dapat dilihat bangunan-bangunan bata berupa candi, gapura, kolam, dan salurah-saluran air di muka tanah maupun di bawah tanah, yang seluruhnya mengindikasikan sebuah kota yang sudah cukup maju untuk masa itu.
Mengenai seberapa luas kota Majapahit dan dimana batas-batasnya, menurut penelitian terakhir berdasarkan temuan yoni, adalah di sebelah barat daya Trowulan, di Labak Jabung, sebelah tenggara Trowulan, dan Klinterejo di sebelah timur laut Trowulan. Sedangkan titik ke empat mestinya di Dusun Tugu dan Bodas di Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang. Dengan ditemukannya situs arkeologi pada titik keempat, dapat dihitung luas bidang dari keempat titik, sehingga diperkirakan luas bidang Kota Majapahit sekitar 11 x 9 km, yang memanjang utara-selatan.
Pada tahun 1981 keberadaan kanal-kanal dan waduk-waduk di Situs Trowulan semakin pasti diketahui melalui studi foto udara yang ditunjang oleh pengamatan di lapangan dengan pendugaan geoelektrik dan geomagnetik. Dari hasil penelitian kerja sama Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dengan Ditlinbinjarah, UGM, ITB, dan Lapan, diketahui bahwa Situs Trowulan berada di ujung kipas aluvial vulkanik yang sangat luas, memiliki permukaan tanah yang landai dan baik sekali bagi tata guna tanah (Karina Arifin, 1983). Waduk-waduk Baureno, Kumitir, Domas, Kraton, Kedungwulan, Temon, dan kolam-kolam buatan seperti Segaran, Balong Dowo, dan Balong Bunder, yang semuanya terdapat di Situs Trowulan, letaknya dekat dengan pangkal kipas aluvial Jatirejo.
Melalui pengamatan foto udara inframerah, ternyata di Situs Trowulan dan sekitarnya terlihat adanya jalur-jalur yang berpotongan tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan timur-barat. Jalur-jalur yang membujur timur-barat terdiri atas 8 jalur, sedangkan jalur-jalur yang melintang utara-selatan terdiri atas 6 jalur. Selain jalur-jalur yang bersilangan tegak lurus, ditemukan pula dua jalur yang agak menyerong. "Berdasarkan uji lapangan pada jalur-jalur dari foto udara, ternyata jalur-jalur tersebut adalah kanal-kanal, sebagian masih ditemukan tembok penguat tepi kanal dari susunan bata," ujar Karina Arifin.
Lebar kanal-kanal berkisar 35-45 meter. Kanal yang terpendek panjangnya 146 meter, yaitu jalur yang melintang utara-selatan yang terletak di daerah Pesantren, sedangkan kanal yang terpanjang adalah kanal yang berhulu di sebelah timur di daerah Candi Tikus dan berakhir di Kali Gunting (di Dukuh Pandean) di daerah baratnya. Kanal ini panjangnya sekitar 5 kilometer. Hal yang menarik, sebagian besar situs-situs di Trowulan dikelilingi oleh kanal-kanal yang saling berpotongan, membentuk sebuah denah segi empat yang luas, dibagi lagi oleh beberapa bidang segi empat yang lebih kecil.
Istana dan Raja
Berita Cina yang ditulis oleh Ma Huan sewaktu mengikuti perjalanan Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke Jawa memberikan penjelasan mengenai keadaan masyarakat Majapahit pada abad XV. Antara lain, bahwa kota Majapahit terletak di pedalaman Jawa. Istana raja dikelilingi tembok tinggi lebih dari 3 zhang, pada salah satu sisinya terdapat “pintu gerbang yang berat” (mungkin terbuat dari logam). Tinggi atap bangunan antara 4-5 zhang, gentengnya terbuat dari papan kayu yang bercelah-celah (sirap).
Raja Majapahit tinggal di istana, kadang-kadang tanpa mahkota, tetapi sering kali memakai mahkota yang terbuat dari emas dan berhias kembang emas. Raja memakai kain dan selendang tanpa alas kaki, dan ke mana pun pergi selalu memakai satu atau dua bilah keris. Apabila raja keluar istana, biasanya menaiki gajah atau kereta yang ditarik lembu. Penduduk Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Penduduk memakai kain dan baju, kaum lelaki berambut panjang dan terurai, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap anak laki-laki selalu membawa keris yang terbuat dari emas, cula badak, atau gading
Tata Kota
Kerajaan Majapahit, selain mempunyai ibu kota sebagai pusat pemerintahan dan tempat kedudukan raja serta para pejabat kerajaan, juga merupakan pusat magis bagi seluruh kerajaan. Ditinjau dari konsep kosmologi, wujud ibu kota Majapahit dianggap sebagai perwujudan jagad raya, sedangkan raja identik dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Gunung Mahameru (Semeru).
Keberadaan Kota Majapahit menurut konsep tersebut memiliki tiga unsur, yaitu:
1. unsur gunung (replikanya dibentuk candi),
2. unsur sungai (replikannya dibentuk kanal),
3. unsur laut (replikanya dibentuk waduk).
Nagarakretagama menyebutkan bahwa susunan bangunan di istana meliputi tempat tinggal raja dan keluarganya, lapangan manguntur, pemukiman para pendeta, dan rumah-rumah jaga pegawai kerajaan. Rumah di dalam istana indah, bagus, dan kuat. Ibu kota Majapahit dikelilingi oleh raja-raja daerah dan kota-kota lain. Di sekitar istana tempat kedudukan raja terdapat tempat-tempat kedudukan raja-raja daerah (paduka bhatara) serta para pajabat/pembesar kerajaan.
Pupuh VIII
1. Tersebut keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat
bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon
brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah
tempat tunggu para tanda, terus menerus meronda menjaga paseban.
2. Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah timur: panggung luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat. Di bagian utara, di selatan pecan, rumah berjejal jauh memanjang, sangat indah. Di Selatan jalan perempat: balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra.
3. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang
watangan. Yang meluas ke empat arah; bagian utara paseban pujangga dan menteri.
Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buddha, yang bertugas membahas upacara.
Pada masa gerhana bulan Palguna, demi keselamatan seluruh dunia.
4. Di sebelah timur, pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di selatan
tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat, menghadap panggung korban. Bertegak
di halaman sebelah barat; di utara tempat Buddha bersusun tiga. Puncaknya penuh
berukir; berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.
5. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah
bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di
sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengah-
tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.
6. Di dalam, di selatan, ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua.
Dibuat bertingkat-tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri. Semua
balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih
berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.
Pupuh XII
1. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng. Timur tempat tinggal
pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja. Selatan Buddha-sangga dengan
Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat para arya, menteri, dan sanak-kadang
adiraja.
2. Di timur tersekat lapangan, menjulang istana ajaib. Raja Wengker dan rani Daha
penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani
Lasem. Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta.
3. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ menetap patih Daha,
adinda Sri Paduka di Wengker. Batara Narpati, termashur sebagai tulang punggung
praja. Cinta-taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.
4. Di timur laut, rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada. Menteri wira, bijaksana,
setia bakti kepada negara. Fasih bicara, teguh tangkas, tenang, tegas, cerdik, lagi
jujur. Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara.
5. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah timur perumahan
Siwa, sebelah barat Buddha. Terlangkahi rumah para menteri, para arya, dan satria.
Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura.
6. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang. Menandingi bulan
dan matahari, indah tanpa upama. Negara-negara di Nusantara dengan Daha bagai
pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.
Sistem Perairan Masa Majapahit
Bangunan air yang ditemukan di masa Majapahit adalah waduk, kanal, kolam, dan saluran air, yang sampai sekarang masih ditemukan sisa-sisanya. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa pemerintah Majapahit membuat bangunan air tersebut untuk kepentingan irigasi pertanian dan sarana mengalirkan air sungai ke waduk: penampungan dan penyimpanan air, serta pengendali banjir.
Hasil penelitian membuktikan terdapat sekitar 20 waduk kuno yang tersebar di dataran sebelah utara daerah Gunung Anjasmoro, Welirang, dan Arjuno. Waduk Baureno, Kumitir, Domas, Temon, Kraton, dan Kedung Wulan adalah waduk-waduk yang berhubungan dengan Kota Majapahit yang letaknya di antara Kali Gunting di sebelah barat dengan Kali Brangkal di sebelah timur. Hanya waduk Kedung Wulan yang tidak ditemukan lagi sisa-sisa bangunannya, baik dari foto udara maupun di lapangan.
Waduk Baureo adalah waduk terbesar yang terletak 0,5 km dari pertemuan Kali Boro dengan Kali Landean. Bendungannya dikenal dengan sebutan Candi Lima. Tidak jauh dari Candi Lima, gabungan sungai tersebut bersatu dengan Kali Pikatan, membentuk Kali Brangkal. Bekas waduk ini sekarang merupakan cekungan alamiah yang ukurannya besar dan dialiri oleh beberapa sungai. Seperti halnya Waduk Baureno, waduk-waduk lainnya sekarang telah rusak dan yang terlihat hanya berupa cekungan alamiah, misalnya Waduk Domas yang terletak di utara Waduk Baureno; Waduk Kumitir (Rawa Kumitir) yang terletak di sebelah barat Waduk Baureno; Waduk Kraton yang terletak di utara Gapura Bajangratu; dan Waduk Temon yang terletak di selatan Waduk Kraton dan di barat daya Waduk Kumitir.
Di samping waduk-waduk tersebut, di Trowulan terdapat tiga kolam buatan yang letaknya berdekatan, yaitu Segaran, Balong Bunder, dan Balong Dowo. Kolam Segaran memperoleh air dari saluran yang berasal dari Waduk Kraton. Balong Bunder sekarang merupakan rawa yang terletak 250 meter di sebelah selatan Kolam Segaran. Balong Dowo juga merupakan rawa yang terletak 125 meter di sebelah barat daya Kolam Segaran. Hanya Kolam Segaran yang diperkuat dengan dinding-dinding tebal di keempat sisinya, sehingga terlihat merupakan bangunan air paling monumental di Kota Majapahit.
Kolam Segaran pertama kali ditemukan oleh Maclaine Pont pada 1926. Kolam ini berukuran panjang 375 meter dan lebar 175 meter dan dalamnya sekitar 3 meter, membujur arah timurlaut–baratdaya. Dindingnya dibuat dari bata yang direkatkan tanpa bahan perekat. Ketebalan dinding 1,60 meter. Di sisi tenggara terdapat saluran masuk, sedangkan di sisi barat laut terdapat saluran keluar menuju ke Balong Dowo dan Balong Bunder.
Foto udara yang dibuat pada tahun 1970-an di wilayah Trowulan dan sekitarnya memperlihatkan dengan jelas adanya kanal-kanal berupa jalur-jalur yang bersilangan saling tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan barat-timur. Juga terdapat jalur-jalur yang agak menyerong dengan lebar bervariasi, antara 35-45 m atau hanya 12 m, dan bahkan 94 m yang kemungkinan disebabkan oleh aktivitas penduduk masa kini.
Kanal-kanal di daerah pemukiman, berdasarkan pengeboran yang pernah dilakukan, memperlihatkan adanya lapisan sedimentasi sedalam 4 m; dan pernah ditemukan susunan bata setinggi 2,5 meter yang memberi kesan bahwa dahulu kanal-kanal tersebut diberi tanggul, seperti di tepi kanal yang terletak di daerah Kedaton yang lebarnya 26 meter diberi tanggul. Kanal-kanal itu ada yang ujungnya, berakhir di Waduk Temon dan Kali Gunting; dan sekurang-kurangnya tiga kanal berakhir di Kali Kepiting, di selatan Kota Majapahit. Kanal-kanal yang cukup lebar menimbulkan dugaan bahwa fungsinya bukan sekadar untuk mengairi sawah (irigasi), tetapi mungkin juga untuk sarana transportasi yang dapat dilalui oleh perahu kecil.
Kanal, waduk, dan kolam buatan ini didukung pula oleh saluran-saluran air yang lebih kecil, yang merupakan bagian dari sistem jaringan air di Majapahit. Di wilayah Trowulan, gorong-gorong yang dibangun dari bata sering ditemukan dengan ukurannya cukup besar, yang memungkinkan orang dewasa untuk masuk ke dalamnya. Candi Tikus yang merupakan pemandian (petirtaan) misalnya, mempunyai gorong-gorong yang besar untuk menyalurkan airnya ke dalam dan ke luar candi. Selain gorong-gorong atau saluran bawah tanah, banyak pula ditemukan saluran terbuka untuk mengairi sawah-sawah, serta temuan pipa-pipa terakota yang kemungkinan besar digunakan untuk menyalurkan air ke rumah-rumah, serta selokan-selokan dari susunan bata di antara sisa-sisa rumah-rumah kuno. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat Majapahit telah mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap sanitasi dan pengendalian air.
Melihat banyak dan besarnya bangunan-bangunan air, dapat diperkirakan bahwa pembangunan dan pemeliharaannya membutuhkan suatu sistem organisasi yang teratur. Hal ini terbukti dari pengetahuan dana teknologi yang mereka miliki, yang memungkinkan mereka mampu mengendalikan banjir dan menjadikan pusat kota terlindungi serta aman dihuni.
Sampai sekarang, baik dari prasasti maupun naskah kuno, tidak diperoleh keterangan mengenai kapan waduk dan kanal-kanal tersebut dibangun serta berapa lama berfungsinya. Rusaknya bangunan-bangunan air tersebut mungkin diawali oleh letusan Gunung Anjasmoro tahun 1451, yang membawa lapisan lahar tebal yang membobol Waduk Baureno dan merusak sistem jaringan air yang ada. Candi Tikus yang letaknya di antara Waduk Kumitir dan Waduk Kraton bahkan seluruhnya pernah tertutup oleh lahar.
Keadaan kerajaan yang kacau karena perebutan kekuasaan ditambah dengana munculnya kekuasaan baru di daerah pesisir, mengakibatkan kerusakan bangunan air tidak dapat diperbaiki seperti sediakala. Erosi dan banjir yang terus menerus mengakibatkan daerah ini tidak layak huni dan perlahan-lahan ditinggalkan oleh penghuninya.
Kota-kota Besar Kerajaan
Perkampungan dan Dusun
Tidak diketahui secara pasti bagaimana bentuk rumah tradisional peninggalan Kerajaan Majapahit yang sesungguhnya. Dari sejumlah artefak yang ditemukan yang berkaitan dengan okupasi kerajaan, sulit rasanya untuk memberikan contoh baku prototipe rumah zaman Majapahit. Namun, ada segopok artefak dari tanah liat bakar berupa miniatur rumah dan temuan struktur bangunan yang diduga sebagai tipikal rumah Majapahit.
Ekskavasi di Trowulan tahun 1995 menunjukkan adanya struktur bangunan berupa kaki dari tanah yang diperkuat dengan susunan batu yang berspesi tanah setebal 1 cm, membentuk sebuah batur rumah. Denah batur berbentuk empat persegi panjang, dengan ukuran 5,20 x 2,15 meter dan tinggi sekitar 60 cm. Di sisi utara terdapat sebuah struktur tangga bata yang terdiri dari 3 anak tangga. Dari keberadaan dan tata letak tangga, dapat disimpulkan bahwa rumah ini menghadap ke utara dengan deviasi sekitar 90 55 derajat ke timur, seperti juga orientasi hampir dari semua arah struktur bangunan yang ada di Situs Trowulan.
Pada kedua sisi kaki bangunan terdapat selokan terbuka selebar 8 cm dan dalam 10 cm. Depan kaki bangunan selokan itu mengikuti bentuk denah bangunan tangga. Selokan tersebut dibangun dari satuan-satuan bata sehingga struktur selokan lebih kuat, dan airnya bisa mengalir lebih cepat. Di sekitar kaki bangunan ditemukan lebih dari 200 pecahan genteng dan 70 pecahan bubungan dan kemuncak, serta ukel (hiasan dari terakota yang ditempatkan di bawah jurai atap bangunan).
Struktur halaman bangunannya amat menarik dan unik. Tanah halaman ditutup dengan struktur yang berkotak-kotak, dan masing-masing kotak dibatasi dengan bata yang dipasang rebah di keempat sisinya, dan di dalam kotak berbingkai bata tersebut dipasang batu-batu bulat memenuhi seluruh bidang. Tutupan semacam ini berfungsi untuk menghindari bila halaman menjadi becek ketika hujan turun. Belum pernah ditemukan penutup halaman yang semacam ini, kecuali yang agak serupa ditemukan di selatan situs Segaran II.
Dari temuan itu dapat diasumsikan bahwa tubuh bangunan didirikan di atas batur setinggi 60 cm. Kemungkinan bangunan dibuat dari kayu (papan) dan bukan dari bata karena di sekitar areal bangunan tidak ditemukan bata dalam jumlah yang besar sesuai dengan volume bangunannya. Mungkin tubuh bangunan dibuat dari kayu (papan) atau anyaman bambu jenis gedek atau bilik. Tiang-tiang kayu penyangga atap tentunya sudah hancur, agaknya tidak dilandasi oleh umpak-umpak batu yang justru banyak ditemukan di Situs Trowulan, karena tak ada satu pun umpak yang ditemukan di sekitar bangunan.
Tiang-tiang rumah mungkin diletakkan langsung pada lantai yang melapisi permukaan batur. Atap bangunan diperkirakan memunyai sudut kemiringan antara 35-60 derajat, ditutup dengan susunan genteng berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 24 x 13 x 0,9 cm dengan jumlah sekitar 800 -1.000 keping genteng yang menutupinya. Bagian atas atap dilengkapi dengan bubungan dan kemuncak, serta pada ujung-ujung jurainya dipasang hiasan ukel.
Rekonstruksi bangunan rumah yang didasarkan atas bukti yang ditemukan di situs tersebut, dapat dilengkapi melalui perbandingan dengan bentuk-bentuk rumah beserta unsur-unsurnya yang dapat kita lihat wujudnya dalam: (1) artefak sezaman seperti pada relief candi, model-model bangunan yang dibuat dari terakota, jenis-jenis penutup atap berbentuk genteng, sirap, bambu, ijuk; (2) rumah-rumah sederhana milik penduduk sekarang di Trowulan; dan (3) rumah-rumah di Bali.
Lepas dari status sosial penghuni rumah ini, ada hal lain yang menarik, yaitu penduduk Majapahit di Trowulan, atau setidak-tidaknya penghuni rumah ini, telah menggabungkan antara segi fungsi dengan estetika. Halaman rumah ditata sedemikian rupa untuk menghindari genangan air dengan cara diperkeras dengan krakal bulat dalam bingkai bata. Di sekeliling bangunan terdapat selokan terbuka yang bagian dasarnya berlapis bata untuk mengalirkan air dari halaman. Dilengkapi pula dengan sebuah jambangan air dari terakota yang besar dan kendi berhias, yang memberikan kesan sebuah halaman rumah yang tertata apik. Di sebelah timur terdapat beberapa struktur bata yang belum berhasil diidentifikasi. Mungkin rumah yang ukurannya relatif kecil ini hanya merupakan salah satu komplek. Bangunan yang berada dalam satu halaman seluas 200-an meter persegi tersebut dikelilingi oleh pagar seperti yang dapat kita saksikan di Bali sekarang.
Langganan:
Postingan (Atom)